![]() |
Ilustrasi stress |
Agus Syarifudin Partadiredja Tanuarga
Sering dengar orang bilang stres itu bisa bikin gila?
Kedengarannya ekstrem, ya? Tapi kalau kita bicara stres kronis,
dampaknya pada kesehatan mental itu jauh lebih serius dari sekadar
"perasaan tidak enak." Ini bukan cuma tentang Rekan PSAK jadi gampang
marah atau susah tidur semalam dua malam. Stres yang berkepanjangan itu, secara
ilmiah, bisa mengubah struktur dan fungsi otak Rekan PSAK, membuka pintu
lebar-lebar bagi gangguan seperti kecemasan dan depresi. Ini
bukan lagi omong kosong, ini adalah fakta yang diteliti!
Di lingkungan kerja yang serba menuntut, dengan deadline
yang tak ada habisnya, persaingan ketat, dan ekspektasi yang tinggi, stres
seolah sudah jadi bagian dari "paket lengkap." Banyak dari kita
menganggapnya normal, "bagian dari pekerjaan." Tapi, apakah kita
benar-benar menyadari harga yang harus dibayar oleh otak kita?
Dari Stres Biasa Menjadi Racun Otak
Kita tahu bahwa kortisol, si "hormon
stres," berguna dalam situasi darurat (seperti yang kita bahas
sebelumnya). Tapi ketika kortisol terus-menerus membanjiri otak karena stres
yang tak kunjung usai, ia berubah dari penyelamat menjadi pengkhianat.
Stres kronis mengaktifkan sumbu Hypothalamic-Pituitary-Adrenal
(HPA) secara berlebihan. Sumbu ini adalah sistem respons stres utama tubuh.
Ketika HPA overdrive, kortisol terus diproduksi, dan ini adalah awal
dari masalah serius pada otak Rekan PSAK (McEwen, 2007).
Ketika Otak Berubah Bentuk: Jalan Menuju Kecemasan dan
Depresi
Bagaimana stres kronis ini bisa "merusak" otak dan
memicu gangguan mental? Ini dia penjelasannya:
- Penyusutan
Hippocampus: Memori dan Regulasi Emosi Amburadul Hippocampus adalah
bagian otak yang sangat penting untuk memori (terutama memori baru) dan
regulasi emosi. Nah, kortisol berlebihan terbukti dapat merusak dan bahkan
menyebabkan penyusutan volume hippocampus (Sapolsky, 2000; Lupien et al.,
2009). Kalau hippocampus terganggu, jangan heran Rekan PSAK jadi sering
lupa detail penting di kantor, sulit belajar hal baru, atau bahkan
kesulitan mengendalikan emosi, yang semuanya jadi pemicu kecemasan dan
depresi.
- Perubahan
pada Korteks Prefrontal: Fokus, Keputusan, dan Interaksi Sosial Meleset
Korteks prefrontal (PFC) adalah pusat kendali eksekutif otak Rekan
PSAK. Di sinilah kemampuan Rekan PSAK untuk fokus, membuat keputusan
rasional, merencanakan, dan berinteraksi sosial diatur. Stres kronis,
melalui kortisol, dapat mengganggu fungsi PFC, bahkan mengubah
konektivitasnya (Arnsten, 2009; Liston et al., 2009). Ini menjelaskan
mengapa di bawah tekanan stres berat, Rekan PSAK jadi sulit konsentrasi,
mengambil keputusan yang buruk, impulsif, atau justru menarik diri dari
interaksi sosial di tempat kerja.
- Amigdala
Hiperaktif: Alarm Ketakutan yang Tak Henti Berbunyi Amigdala
adalah pusat rasa takut dan emosi kita. Dalam kondisi stres kronis,
amigdala bisa menjadi hiperaktif (Roozendaal et al., 2009). Ini seperti
alarm kebakaran yang terus-menerus berbunyi padahal tidak ada api.
Akibatnya, Rekan PSAK jadi lebih mudah cemas, panik, bereaksi berlebihan
terhadap situasi kecil, dan sulit merasa tenang, bahkan di lingkungan yang
aman. Ini adalah ciri khas gangguan kecemasan.
- Neurotransmiter
dan Keseimbangan Kimia Otak Terganggu Stres kronis juga mengganggu
keseimbangan neurotransmiter di otak, terutama serotonin, dopamin,
dan norepinefrin (Duman et al., 2016). Neurotransmiter ini adalah
"kurir kimia" yang mengatur suasana hati, motivasi, dan
kesenangan. Ketidakseimbangan ini sangat berperan dalam perkembangan
depresi dan gangguan suasana hati lainnya.
- Peradangan
Otak: Musuh Tersembunyi Ini mungkin yang paling sering diabaikan.
Stres kronis dapat memicu peradangan tingkat rendah di otak (Miller
et al., 2009). Peradangan ini merusak sel-sel otak dan mengganggu
komunikasi antar neuron, yang secara langsung berkontribusi pada gejala
depresi dan kecemasan (Pariante & Miller, 2017).
Dampak di Kehidupan Sehari-hari dan di Tempat Kerja
Semua perubahan pada otak ini tidak hanya berhenti di level
biologi. Mereka punya manifestasi nyata dalam hidup Rekan PSAK:
- Penurunan
Kinerja: Sulit fokus, sering lupa, pengambilan keputusan yang buruk,
dan kurang motivasi tentu saja akan menurunkan kualitas pekerjaan Rekan
PSAK.
- Masalah
Interaksi Sosial: Cemas berlebihan saat presentasi, mudah tersinggung,
atau menarik diri dari diskusi tim bisa merusak hubungan profesional Rekan
PSAK.
- Risiko
Gangguan Mental: Jika dibiarkan, ini bisa berkembang menjadi gangguan
kecemasan umum, panic disorder, major depressive disorder,
atau bahkan burnout yang parah (APA, 2013).
Jangan Anggap Remeh!
Memahami dampak stres kronis ini bukan untuk membuat Rekan
PSAK paranoid, melainkan untuk meningkatkan kesadaran. Kesehatan mental itu
sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Mengabaikan stres kronis berarti
membiarkan otak Rekan PSAK terus-menerus berada di medan perang, dan ini ada
konsekuensinya.
Jika Rekan PSAK atau orang terdekat mengalami gejala-gejala
seperti kecemasan berlebihan, kesedihan yang tak kunjung hilang, sulit tidur,
hilang minat pada hal-hal yang dulu disukai, atau perubahan drastis dalam
kebiasaan makan dan tidur, jangan ragu mencari bantuan profesional. Ada banyak
cara untuk mengelola stres dan memulihkan kesehatan otak Rekan PSAK. Jangan
sampai otak Rekan PSAK "rusak permanen" hanya karena menganggap stres
sebagai bagian hidup yang "normal."
Referensi
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and
statistical manual of mental disorders (5th ed.). American Psychiatric
Publishing.
Arnsten, A. F. T. (2009). Stress signalling pathways that
impair prefrontal cortex function. Nature Reviews Neuroscience, 10(6),
410-422.
Duman, R. S., Aghajanian, G. K., Sanacora, G., &
Krystal, J. H. (2016). Synaptic plasticity and depression: new insights from
stress and rapid-acting antidepressants. Nature Medicine, 22(3),
238-249.
Liston, C., Miller, M. M., Goldwater, D. S., Radley, J. J.,
Rocher, A. B., Hogg, E., ... & McEwen, B. S. (2009). Stress-induced
alterations in prefrontal cortex mediate fear extinction deficits in adulthood.
Journal of Neuroscience, 29(16), 4920-4928.
Lupien, S. J., Fiocco, A., Wan, N., Maheu, F., Lord, C.,
Schramek, J. P., & Tu, M. T. (2009). Stress hormones and human memory
across the adult lifespan. Psychoneuroendocrinology, 34, S36-S45.
McEwen, B. S. (2007). Physiology and neurobiology of stress
and adaptation: central role of the brain. Physiological Reviews, 87(3),
873-904.
Miller, A. H., Maletic, V., & Raison, C. L. (2009).
Inflammation and its discontents: the role of cytokines in the pathophysiology
of major depression. Biological Psychiatry, 65(9), 732-741.
Pariante, C. M., & Miller, A. H. (2017). Can
inflammation cause depression?. Nature Reviews Neuroscience, 18(1),
25-39.
Roozendaal, B., McEwen, B. S., & Chattarji, S. (2009).
Stress, memory and the amygdala. Nature Reviews Neuroscience, 10(6),
423-433.
Sapolsky, R. M. (2000). Glucocorticoids and hippocampus
vulnerability. Neurobiology of Disease, 7(5), 415-422.
Sapolsky, R. M. (2004). Why Zebras Don't Get Ulcers: The
Acclaimed Guide to Stress, Stress-Related Diseases, and Coping. Henry Holt
and Company.
Tegethoff, M., Greene, R., & Meinlschmidt, G. (2015).
The role of cortisol in the development of anxiety and depressive disorders: a
systematic review. Endocrinology and Metabolism Clinics of North America,
44(3), 543-559.
Komentar
Posting Komentar