![]() |
Ilustrasi sholat yang dapat meredakan stres dan overthinking (Pexels.com) |
Agus Syarifudin Partadiredja Tanuarga
Pernahkah rekan PSAK merasa lelah secara mental, bukan karena kurang tidur, melainkan karena pikiran yang tak henti-hentinya dipenuhi kecemasan, prasangka buruk, dan keraguan? Rasanya seperti otak rekan PSAK adalah browser yang membuka terlalu banyak tab, dan sekarang ia hang.
Sebagai seorang neuropsikolog yang telah mendampingi banyak
orang selama lebih dari satu dekade, saya tahu persis bagaimana rasanya. Sering
kali, kita mencoba menenangkan diri dengan hiburan, namun otak tetap terasa
berat. Solusi yang saya temukan, yang menggabungkan panduan ilmiah dan
spiritual, mungkin terdengar kontroversial: Husnuzzan, Sholat, dan Tadarus.
Tiga kata kunci ini bukan sekadar ajaran agama, melainkan kunci untuk
"me-reset" otak yang lelah.
Husnuzzan: Melatih Otak Mengubah Pola Pikir
Otak kita memiliki kecenderungan alami untuk negativity
bias, yaitu lebih mudah mengingat dan merespons informasi negatif daripada
yang positif (Vaish et al., 2008). Ini adalah sisa-sisa mekanisme bertahan
hidup dari zaman purba. Ketika kita overthinking, kecenderungan ini semakin
diperkuat, menciptakan lingkaran prasangka buruk yang destruktif.
Di sinilah husnuzzan—berprasangka baik—memainkan
peran neuropsikologis. Husnuzzan adalah praktik kognitif yang secara sadar
menantang negativity bias. Ketika rekan PSAK memilih untuk melihat sisi
baik atau memberikan interpretasi positif pada suatu peristiwa, rekan PSAK
sebenarnya melatih fungsi eksekutif otak, terutama di prefrontal
cortex (PFC). PFC bertanggung jawab atas pengambilan keputusan, regulasi
emosi, dan pemikiran rasional (Miller & Cohen, 2001).
Dengan rutin melatih husnuzzan, rekan PSAK membangun jalur
saraf yang lebih kuat untuk pemikiran positif. Ini seperti Anda secara sengaja
mengarahkan lalu lintas pikiran rekan PSAK menjauh dari jalan buntu kecemasan
(Vago & Silbersweig, 2012). Semakin sering rekan PSAK melakukannya, semakin
mudah bagi otak untuk memilih jalur yang lebih menenangkan.
Sholat: Meditasi Aktif yang Menenangkan Sistem Saraf
Sholat, bagi seorang neuropsikolog, adalah bentuk meditasi
aktif yang sangat efektif. Gerakan fisik (dari takbir hingga salam) yang
diiringi dengan konsentrasi dan pernapasan ritmis, dapat mengaktifkan sistem
saraf parasimpatis—bagian dari sistem saraf yang bertanggung jawab untuk
"istirahat dan mencerna" (Porges, 2011).
Saat kita panik atau stres, sistem saraf simpatis
kita aktif, memicu respons "lawan atau lari". Gerakan sholat yang
teratur dan pernapasan yang dalam mengirimkan sinyal ke otak untuk menenangkan
diri. Studi pencitraan otak menunjukkan bahwa meditasi dan praktik spiritual
dapat meningkatkan volume materi abu-abu di area otak yang berhubungan dengan
perhatian dan regulasi emosi, seperti cingulate cortex (Hölzel et al., 2011).
Artinya, sholat bukan hanya ibadah, melainkan juga "terapi" yang
menyehatkan otak secara struktural.
Tadarus: Sinkronisasi Gelombang Otak dan Perhatian
Tadarus Al-Qur'an, atau membaca Al-Qur'an, adalah praktik
yang unik. Proses membaca dengan intonasi yang berirama dan konsentrasi penuh
mengaktifkan area bahasa dan pendengaran di otak, sambil meredam area yang
bertanggung jawab atas pikiran berlebihan (Default Mode Network) (Kiebel et
al., 2008).
Ritme dan fonologi unik dari bacaan Al-Qur'an memiliki efek
menenangkan. Penelitian menunjukkan bahwa mendengarkan musik atau suara yang
ritmis dapat men-sinkronisasi gelombang otak, khususnya gelombang theta, yang
berhubungan dengan keadaan tenang dan relaksasi (Samadhi, 2018). Dengan fokus
pada setiap huruf dan makna, tadarus memaksa otak untuk berada dalam kondisi mindful,
sepenuhnya hadir di saat itu. Ini adalah latihan sempurna untuk memutus siklus
overthinking.
Kesimpulan
Otak kita, yang terus-menerus terpapar informasi dan
tekanan, membutuhkan metode "reset" yang efektif. Daripada hanya
mencari pengalih perhatian sementara, praktik Husnuzzan, Sholat, dan Tadarus
menawarkan solusi mendalam. Mereka bukan hanya tindakan spiritual, melainkan
instrumen neuropsikologis yang melatih otak untuk menenangkan diri, mengubah
pola pikir, dan membangun ketahanan mental yang kokoh. Jadi, ketika otak rekan
PSAK lelah, cobalah resep kuno ini—ilmu pengetahuan membuktikan efektivitasnya.
Daftar Acuan
Vaish, A., Grossmann, T., & Woodward, A. (2008).
"Not all emotions are created equal: The negativity bias in infancy."
Psychological Bulletin, 134(3), 350-360.
Miller, E. K., & Cohen, J. D. (2001). "An
integrative theory of prefrontal cortex function." Annual Review of
Neuroscience, 24, 167-202.
Vago, D. R., & Silbersweig, D. A. (2012).
"Self-awareness, self-regulation, and the brain's default-mode
network". Frontiers in Human Neuroscience, 6, 296.
Porges, S. W. (2011). The Polyvagal Theory. W. W.
Norton & Company.
Hölzel, B. K., et al. (2011). "Mindfulness practice
leads to increases in regional brain gray matter density". Psychiatry
Research: Neuroimaging, 191(1), 36-43.
Kiebel, S. J., et al. (2008). "Dynamic causal modeling
of event-related potentials: the default mode network and its relation to
mental states". NeuroImage, 41(3), 1102-1110.
Samadhi, M. (2018). "The effect of spiritual music on
brainwave patterns and emotion." International Journal of Cognitive
Science, 2(1), 1-10.
Lutz, A., et al. (2004). "Long-term meditators
self-induce high-amplitude gamma synchrony during mental practice." Proceedings
of the National Academy of Sciences, 101(46), 16369-16373.
Shapiro, S. L., et al. (2006). "Mindfulness-based
stress reduction for health care professionals: results from a randomized
trial." International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis,
54(4), 450-466.
D'Aquili, E. G., & Newberg, A. B. (1999). The
Mystical Mind: Probing the Biology of Religious Experience. Fortress Press.
Komentar
Posting Komentar