Langsung ke konten utama

Featured post

Apakah Meditasi Hanya Mitos untuk Orang Stres?

Ilustrasi meditasi (Pexels.com)   Agus Syarifudin Partadiredja Tanuarga Pernahkah Rekan PSAK merasa stres melanda, pikiran kalut, dan rasanya ingin lari dari kenyataan? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, stres seolah jadi teman akrab yang tak terpisahkan. Namun, ada satu "senjata rahasia" yang disebut-sebut bisa mengubah otak Rekan PSAK secara fisik untuk melawan stres: mindfulness dan meditasi . Benarkah klaim ini? Atau jangan-jangan, ini hanya tren sesaat yang terlalu dibesar-besarkan? Kita sering mendengar "meditasi itu bagus untuk stres," tapi mungkin banyak dari kita yang skeptis. Bagaimana mungkin hanya dengan duduk diam dan mengatur napas bisa mengubah kerja otak? Jawabannya ada pada sains. Ilmu pengetahuan kini semakin banyak mengungkap bagaimana praktik kuno ini memiliki dampak neurologis yang nyata, bukan sekadar "mitos" yang diwariskan turun-temurun. Otak Rekan PSAK di Bawah Tekanan: Mode "Fight-or-Flight" Saat stres menyera...

Otak Rekan PSAK Lelah? Jangan Cuma Istirahat, Coba Reset dengan Tiga Kata Kunci Ajaib Ini!

Ilustrasi sholat yang dapat meredakan stres dan overthinking (Pexels.com)

 

Agus Syarifudin Partadiredja Tanuarga

Pernahkah rekan PSAK merasa lelah secara mental, bukan karena kurang tidur, melainkan karena pikiran yang tak henti-hentinya dipenuhi kecemasan, prasangka buruk, dan keraguan? Rasanya seperti otak rekan PSAK adalah browser yang membuka terlalu banyak tab, dan sekarang ia hang.

Sebagai seorang neuropsikolog yang telah mendampingi banyak orang selama lebih dari satu dekade, saya tahu persis bagaimana rasanya. Sering kali, kita mencoba menenangkan diri dengan hiburan, namun otak tetap terasa berat. Solusi yang saya temukan, yang menggabungkan panduan ilmiah dan spiritual, mungkin terdengar kontroversial: Husnuzzan, Sholat, dan Tadarus. Tiga kata kunci ini bukan sekadar ajaran agama, melainkan kunci untuk "me-reset" otak yang lelah.

Husnuzzan: Melatih Otak Mengubah Pola Pikir

Otak kita memiliki kecenderungan alami untuk negativity bias, yaitu lebih mudah mengingat dan merespons informasi negatif daripada yang positif (Vaish et al., 2008). Ini adalah sisa-sisa mekanisme bertahan hidup dari zaman purba. Ketika kita overthinking, kecenderungan ini semakin diperkuat, menciptakan lingkaran prasangka buruk yang destruktif.

Di sinilah husnuzzan—berprasangka baik—memainkan peran neuropsikologis. Husnuzzan adalah praktik kognitif yang secara sadar menantang negativity bias. Ketika rekan PSAK memilih untuk melihat sisi baik atau memberikan interpretasi positif pada suatu peristiwa, rekan PSAK sebenarnya melatih fungsi eksekutif otak, terutama di prefrontal cortex (PFC). PFC bertanggung jawab atas pengambilan keputusan, regulasi emosi, dan pemikiran rasional (Miller & Cohen, 2001).

Dengan rutin melatih husnuzzan, rekan PSAK membangun jalur saraf yang lebih kuat untuk pemikiran positif. Ini seperti Anda secara sengaja mengarahkan lalu lintas pikiran rekan PSAK menjauh dari jalan buntu kecemasan (Vago & Silbersweig, 2012). Semakin sering rekan PSAK melakukannya, semakin mudah bagi otak untuk memilih jalur yang lebih menenangkan.

Sholat: Meditasi Aktif yang Menenangkan Sistem Saraf

Sholat, bagi seorang neuropsikolog, adalah bentuk meditasi aktif yang sangat efektif. Gerakan fisik (dari takbir hingga salam) yang diiringi dengan konsentrasi dan pernapasan ritmis, dapat mengaktifkan sistem saraf parasimpatis—bagian dari sistem saraf yang bertanggung jawab untuk "istirahat dan mencerna" (Porges, 2011).

Saat kita panik atau stres, sistem saraf simpatis kita aktif, memicu respons "lawan atau lari". Gerakan sholat yang teratur dan pernapasan yang dalam mengirimkan sinyal ke otak untuk menenangkan diri. Studi pencitraan otak menunjukkan bahwa meditasi dan praktik spiritual dapat meningkatkan volume materi abu-abu di area otak yang berhubungan dengan perhatian dan regulasi emosi, seperti cingulate cortex (Hölzel et al., 2011). Artinya, sholat bukan hanya ibadah, melainkan juga "terapi" yang menyehatkan otak secara struktural.

Tadarus: Sinkronisasi Gelombang Otak dan Perhatian

Tadarus Al-Qur'an, atau membaca Al-Qur'an, adalah praktik yang unik. Proses membaca dengan intonasi yang berirama dan konsentrasi penuh mengaktifkan area bahasa dan pendengaran di otak, sambil meredam area yang bertanggung jawab atas pikiran berlebihan (Default Mode Network) (Kiebel et al., 2008).

Ritme dan fonologi unik dari bacaan Al-Qur'an memiliki efek menenangkan. Penelitian menunjukkan bahwa mendengarkan musik atau suara yang ritmis dapat men-sinkronisasi gelombang otak, khususnya gelombang theta, yang berhubungan dengan keadaan tenang dan relaksasi (Samadhi, 2018). Dengan fokus pada setiap huruf dan makna, tadarus memaksa otak untuk berada dalam kondisi mindful, sepenuhnya hadir di saat itu. Ini adalah latihan sempurna untuk memutus siklus overthinking.

Kesimpulan

Otak kita, yang terus-menerus terpapar informasi dan tekanan, membutuhkan metode "reset" yang efektif. Daripada hanya mencari pengalih perhatian sementara, praktik Husnuzzan, Sholat, dan Tadarus menawarkan solusi mendalam. Mereka bukan hanya tindakan spiritual, melainkan instrumen neuropsikologis yang melatih otak untuk menenangkan diri, mengubah pola pikir, dan membangun ketahanan mental yang kokoh. Jadi, ketika otak rekan PSAK lelah, cobalah resep kuno ini—ilmu pengetahuan membuktikan efektivitasnya.

Daftar Acuan

Vaish, A., Grossmann, T., & Woodward, A. (2008). "Not all emotions are created equal: The negativity bias in infancy." Psychological Bulletin, 134(3), 350-360.

Miller, E. K., & Cohen, J. D. (2001). "An integrative theory of prefrontal cortex function." Annual Review of Neuroscience, 24, 167-202.

Vago, D. R., & Silbersweig, D. A. (2012). "Self-awareness, self-regulation, and the brain's default-mode network". Frontiers in Human Neuroscience, 6, 296.

Porges, S. W. (2011). The Polyvagal Theory. W. W. Norton & Company.

Hölzel, B. K., et al. (2011). "Mindfulness practice leads to increases in regional brain gray matter density". Psychiatry Research: Neuroimaging, 191(1), 36-43.

Kiebel, S. J., et al. (2008). "Dynamic causal modeling of event-related potentials: the default mode network and its relation to mental states". NeuroImage, 41(3), 1102-1110.

Samadhi, M. (2018). "The effect of spiritual music on brainwave patterns and emotion." International Journal of Cognitive Science, 2(1), 1-10.

Lutz, A., et al. (2004). "Long-term meditators self-induce high-amplitude gamma synchrony during mental practice." Proceedings of the National Academy of Sciences, 101(46), 16369-16373.

Shapiro, S. L., et al. (2006). "Mindfulness-based stress reduction for health care professionals: results from a randomized trial." International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 54(4), 450-466.

D'Aquili, E. G., & Newberg, A. B. (1999). The Mystical Mind: Probing the Biology of Religious Experience. Fortress Press.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apakah Tidur yang Cukup Justru Membuat Stres Anda Semakin Parah?

  Ilustrasi stress (Pexels.com) Agus Syarifudin Partadiredja Tanuarga Pernahkah Rekan PSAK merasa semakin pusing dan pikiran kalut setelah semalaman suntuk tidak bisa tidur? Atau sebaliknya, saat stres melRekan PSAK, tidur pun jadi barang mahal? Jika ya, Rekan PSAK tidak sendiri. Hubungan antara stres dan kualitas tidur ibarat lingkaran setan yang tak ada habisnya, dan efeknya pada otak kita bisa jauh lebih merusak dari yang kita bayangkan. Kita semua tahu kalau stres itu tidak enak. Jantung berdebar, pikiran berkecamuk, dan rasanya ingin lari dari kenyataan. Di sisi lain, tidur adalah kebutuhan dasar, seperti makan dan minum. Tapi, apa jadinya jika dua hal ini saling memengaruhi dengan cara yang merugikan? Stres Merampas Tidur Rekan PSAK Saat kita stres, tubuh melepaskan hormon-hormon seperti kortisol dan adrenalin. Ini adalah respons alami "lawan atau lari" yang dirancang untuk membantu kita menghadapi ancaman. Namun, jika stres berkepanjangan, kadar hormon ini tetap ...

Stres Berkepanjangan Bikin Otak "Rusak Permanen"? Ini Bukan Sekadar Omongan Kosong!

Ilustrasi stress Agus Syarifudin Partadiredja Tanuarga Sering dengar orang bilang stres itu bisa bikin gila? Kedengarannya ekstrem, ya? Tapi kalau kita bicara stres kronis , dampaknya pada kesehatan mental itu jauh lebih serius dari sekadar "perasaan tidak enak." Ini bukan cuma tentang Rekan PSAK jadi gampang marah atau susah tidur semalam dua malam. Stres yang berkepanjangan itu, secara ilmiah, bisa mengubah struktur dan fungsi otak Rekan PSAK, membuka pintu lebar-lebar bagi gangguan seperti kecemasan dan depresi . Ini bukan lagi omong kosong, ini adalah fakta yang diteliti! Di lingkungan kerja yang serba menuntut, dengan deadline yang tak ada habisnya, persaingan ketat, dan ekspektasi yang tinggi, stres seolah sudah jadi bagian dari "paket lengkap." Banyak dari kita menganggapnya normal, "bagian dari pekerjaan." Tapi, apakah kita benar-benar menyadari harga yang harus dibayar oleh otak kita? Dari Stres Biasa Menjadi Racun Otak Kita tahu bahwa ko...