![]() |
Ilustrasi stress (Pexels.com) |
Agus Syarifudin Partadiredja Tanuarga
Pernahkah Rekan PSAK merasa ingin melempar keyboard
saat deadline menumpuk, atau berteriak pada rekan kerja yang bikin
emosi? Lalu setelah itu, Rekan PSAK menyesal dan berpikir, "Kenapa sih aku
barusan kayak gitu?!" Jangan khawatir, Rekan PSAK tidak sendirian. Kita
semua pernah menghadapi momen di mana respons kita terhadap stres terasa jauh
lebih besar dari seharusnya. Tapi tahu tidak, otak Rekan PSAK sebenarnya punya
sistem "rem" yang super canggih untuk mencegah Rekan PSAK lepas
kendali? Rem ini bernama Prefrontal Cortex (PFC).
Seringkali, di tengah badai stres, kita merasa seperti
dikendalikan oleh emosi. Respons kita jadi impulsif, bukannya rasional. Ini
bukan karena kita tidak punya kontrol diri, tapi karena stres, terutama stres
kerja yang intens, bisa memengaruhi kemampuan PFC Rekan PSAK untuk bekerja
optimal. Ibaratnya, PFC Rekan PSAK itu supir yang lagi mabuk, jadi remnya
blong!
Kenalan dengan Sang "Supir" Otak: Prefrontal
Cortex
Di bagian depan otak Rekan PSAK, tepat di belakang dahi, ada
area yang disebut Prefrontal Cortex (PFC). Anggap saja ini adalah kantor
pusat eksekutif otak Rekan PSAK. PFC bertanggung jawab atas semua fungsi
"tingkat tinggi" yang membedakan kita dari hewan lain:
- Perencanaan
dan Pengambilan Keputusan: PFC membantu Rekan PSAK membuat strategi,
memecahkan masalah, dan menimbang pilihan.
- Kontrol
Diri dan Penundaan Kepuasan: Ini area yang memungkinkan Rekan PSAK
menahan diri dari tindakan impulsif dan fokus pada tujuan jangka panjang.
- Regulasi
Emosi: Ini poin pentingnya. PFC bekerja sama dengan bagian otak lain
seperti amigdala (pusat emosi dan rasa takut) untuk memastikan
respons emosional Rekan PSAK proporsional dengan situasi (Ochsner &
Gross, 2004).
Ketika Rekan PSAK sedang tenang dan fokus, PFC Rekan PSAK
bekerja optimal, menjaga emosi tetap terkendali dan respons Rekan PSAK tetap
rasional.
Ketika Stres "Menyerang": PFC Terkapar,
Amigdala Berpesta!
Masalahnya muncul saat stres datang. Terutama stres
kronis atau stres akut yang intens. Dalam kondisi ini, keseimbangan
kekuatan di otak Rekan PSAK bisa berubah:
- PFC
Melemah, Amigdala Menguat: Stres menyebabkan peningkatan pelepasan kortisol
dan norepinefrin. Kadar yang terlalu tinggi dari zat kimia ini,
bukannya membantu, justru bisa melemahkan fungsi PFC (Arnsten, 2009;
Goldman-Rakic, 1996). Ketika PFC melemah, kendalinya atas amigdala (pusat
emosi kita) juga ikut berkurang. Akibatnya, amigdala jadi lebih aktif dan
respons emosional Rekan PSAK jadi lebih dominan. Ini seperti supir yang
pingsan, dan pedal gas tiba-tiba diinjak penuh oleh penumpang panik
(amigdala)!
- Gangguan
Konektivitas: Bukan hanya melemah, stres kronis juga bisa mengubah
konektivitas antara PFC dan area otak lainnya. Misalnya, koneksi antara
PFC dan amigdala bisa jadi kurang efektif, membuat PFC sulit
"menurunkan volume" respons emosional yang berlebihan dari
amigdala (Kim & Ressler, 2011; Shin et al., 2004). Ini menjelaskan
mengapa di bawah stres, kita sering merasa pikiran jadi kacau dan sulit
berpikir jernih.
- Memori
Kerja Terganggu: PFC juga krusial untuk memori kerja, yaitu
kemampuan untuk menahan dan memanipulasi informasi dalam pikiran Rekan
PSAK untuk tugas yang sedang dikerjakan. Stres kerja yang tinggi telah
terbukti mengganggu memori kerja, membuat Rekan PSAK sulit multitasking,
sering lupa detail, dan melakukan kesalahan (Arnsten, 2015; Diamond et
al., 2007). Ketika memori kerja terganggu, kemampuan Rekan PSAK untuk
berpikir rasional di bawah tekanan juga otomatis menurun.
- Pengambilan
Keputusan Impulsif: Dengan PFC yang terganggu, pengambilan keputusan
kita cenderung menjadi lebih impulsif dan kurang strategis (Starcke &
Brand, 2012). Kita mungkin membuat keputusan cepat tanpa mempertimbangkan
konsekuensi jangka panjang, hanya untuk meredakan tekanan sesaat. Ini
sering terlihat dalam situasi deadline di mana keputusan buru-buru
diambil tanpa analisis mendalam.
Dampak di Kehidupan Sehari-hari dan di Tempat Kerja
Ini bukan cuma teori ilmiah di laboratorium. Dampak dari PFC
yang terganggu saat stres terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari kita:
- Meledak-ledak
di Kantor: Respons emosional yang tidak proporsional saat ada konflik
atau kritik.
- Prokrastinasi:
Sulit memulai atau menyelesaikan tugas karena ketidakmampuan PFC untuk
merencanakan dan mengontrol diri.
- Kesalahan
Fatal: Mengambil keputusan penting secara impulsif karena PFC gagal
menimbang semua opsi dengan baik.
- Susah
Fokus: Terdistraksi oleh pikiran cemas atau emosi negatif saat mencoba
mengerjakan tugas.
Penelitian telah berulang kali menunjukkan korelasi antara
stres kerja dan penurunan fungsi kognitif yang terkait dengan PFC. Sebuah studi
oleh Lupien et al. (2007) menunjukkan bagaimana kortisol yang tinggi terkait
dengan performa PFC yang buruk pada tugas memori kerja. Demikian pula,
pengalaman stres traumatis dapat menyebabkan perubahan struktural dan
fungsional pada PFC, yang berkontribusi pada gangguan regulasi emosi (Pitman et
al., 2012). Bahkan stres yang lebih ringan namun kronis pun dapat memengaruhi
PFC dan membuat individu lebih rentan terhadap kecemasan dan depresi (Arnsten,
2015).
Jadi, Bagaimana Cara "Menyelamatkan" PFC Rekan
PSAK dari Stres?
Untungnya, PFC ini bisa dilatih dan dilindungi! Ini beberapa
strategi yang didukung ilmu pengetahuan:
- Teknik
Relaksasi & Mindfulness: Meditasi dan mindfulness
telah terbukti dapat memperkuat konektivitas antara PFC dan amigdala,
serta meningkatkan volume materi abu-abu di PFC (Hölzel et al., 2011; Tang
et al., 2015). Ini membantu PFC mendapatkan kembali kendali atas respons
emosional.
- Olahraga
Teratur: Aktivitas fisik dapat meningkatkan aliran darah ke otak dan
memicu pelepasan BDNF (Brain-Derived Neurotrophic Factor), yang mendukung
kesehatan dan plastisitas PFC (Cotman & Engesser-Cesar, 2002).
- Tidur
Cukup: Kurang tidur adalah salah satu pemicu utama disfungsi PFC
(Walker, 2017). Tidur yang berkualitas membantu PFC meregenerasi diri dan
berfungsi optimal.
- Latihan
Kognitif (Brain Training): Melibatkan diri dalam aktivitas yang
menantang otak, seperti belajar bahasa baru atau memecahkan teka-teki,
dapat memperkuat koneksi saraf di PFC (Lövden et al., 2010).
- Batasi
Paparan Stres yang Tidak Perlu: Kenali pemicu stres Rekan PSAK dan
jika memungkinkan, kurangi atau kelola paparan terhadapnya. Berani berkata
"tidak" pada tuntutan yang berlebihan adalah bentuk kontrol diri
yang sehat.
Mulai sekarang, ketika Rekan PSAK merasa emosi mendominasi
saat stres, ingatlah: itu bukan kegagalan karakter, melainkan sinyal bahwa PFC
Rekan PSAK sedang butuh bantuan! Dengan strategi yang tepat, Rekan PSAK
bisa melatih "rem" otak Rekan PSAK agar bekerja lebih baik, sehingga Rekan
PSAK bisa merespons stres dengan lebih rasional, bukan hanya bablas impulsif.
Referensi
Arnsten, A. F. T. (2009). Stress signalling pathways that
impair prefrontal cortex function. Nature Reviews Neuroscience, 10(6),
410-422.
Arnsten, A. F. T. (2015). Stress and the prefrontal cortex:
A drug target for the future. Journal of Psychopharmacology, 29(2),
160-166.
Cotman, C. W., & Engesser-Cesar, E. E. (2002). Exercise
enhances and protects brain function. Exercise and Sport Sciences Reviews,
30(2), 75-79.
Diamond, D. M., Campbell, A. M., Park, C. R., Halonen, C.
L., & Zoladz, P. R. (2007). The temporal dynamics of the effects of stress
on the hippocampus: From synaptic plasticity to spatial learning. Psychological
Bulletin, 133(2), 348-362.
Goldman-Rakic, P. S. (1996). The prefrontal cortex: from
molecular genetics to brain imaging. American Journal of Psychiatry,
153(1), 22-37.
Hölzel, B. K., Carmody, J., Vangel, M., Congleton, C.,
Yerramsetti, S., Gard, T., & Lazar, S. W. (2011). Mindfulness practice
leads to increases in regional brain gray matter density. Psychiatry
Research: Neuroimaging, 191(1), 36-43.
Kim, M. J., & Ressler, K. J. (2011). Neural substrates
of fear extinction. Learning & Memory, 18(11), 746-753.
Liston, C., Miller, M. M., Goldwater, D. S., Radley, J. J.,
Rocher, A. B., Hogg, E., ... & McEwen, B. S. (2009). Stress-induced
alterations in prefrontal cortex mediate fear extinction deficits in adulthood.
Journal of Neuroscience, 29(16), 4920-4928.
Lövden, M., Backman, L., Lindenberger, U., Schaefer, S.,
& Schmiedek, F. (2010). A theoretical framework for the study of adult
cognitive plasticity. Psychological Bulletin, 136(6), 1073-1098.
Lupien, S. J., Maheu, F., Tu, M., Fiocco, E., &
Schramek, T. E. (2007). The effects of stress throughout the lifespan on the
brain and cognition: the importance of time of exposure. Brain and Cognition,
65(2), 183-193.
Ochsner, K. N., & Gross, J. J. (2004). Thinking makes it
so: a social cognitive neuroscience approach to emotion regulation. Handbook
of Affective Sciences, 67, 85-98.
Pitman, R. K., Rasmusson, A. M., Koenen, K. C., Shin, L. M.,
& Orr, S. P. (2012). Biological markers of posttraumatic stress disorder
and their clinical implications. Dialogues in Clinical Neuroscience,
14(3), 291-304.
Shin, L. M., Whalen, P. J., Pitman, R. K., Bush, G.,
Macklin, M. L., Lasko, N. B., ... & Rauch, S. L. (2004). An fMRI study of
amygdala and medial prefrontal cortex responses to fearful faces in
posttraumatic stress disorder. Archives of General Psychiatry, 61(7),
682-692.
Starcke, K., & Brand, M. (2012). Decision making under
stress: A review. Neuroscience & Biobehavioral Reviews, 36(5),
1227-1244.
Tang, Y. Y., Hölzel, B. K., & Posner, M. I. (2015). The
neuroscience of mindfulness meditation. Nature Reviews Neuroscience,
16(4), 213-225.
Walker, M. P. (2017). Why We Sleep: Unlocking the Power
of Sleep and Dreams. Scribner.
Komentar
Posting Komentar