![]() |
Ilustrasi stress (Pexels.com) |
Agus Syarifudin Partadiredja Tanuarga
Pernahkah Rekan PSAK merasa semakin pusing dan pikiran kalut setelah semalaman suntuk tidak bisa tidur? Atau sebaliknya, saat stres melRekan PSAK, tidur pun jadi barang mahal? Jika ya, Rekan PSAK tidak sendiri. Hubungan antara stres dan kualitas tidur ibarat lingkaran setan yang tak ada habisnya, dan efeknya pada otak kita bisa jauh lebih merusak dari yang kita bayangkan.
Kita semua tahu kalau stres itu tidak enak. Jantung
berdebar, pikiran berkecamuk, dan rasanya ingin lari dari kenyataan. Di sisi
lain, tidur adalah kebutuhan dasar, seperti makan dan minum. Tapi, apa jadinya
jika dua hal ini saling memengaruhi dengan cara yang merugikan?
Stres Merampas Tidur Rekan PSAK
Saat kita stres, tubuh melepaskan hormon-hormon seperti
kortisol dan adrenalin. Ini adalah respons alami "lawan atau lari"
yang dirancang untuk membantu kita menghadapi ancaman. Namun, jika stres
berkepanjangan, kadar hormon ini tetap tinggi, dan inilah masalahnya. Kortisol
yang berlebihan dapat mengganggu ritme sirkadian alami tubuh kita, yaitu jam
internal yang mengatur siklus tidur-bangun.
"Peningkatan kortisol di malam hari dapat mempersulit
seseorang untuk tertidur dan mempertahankan tidur," jelas Dr. Michael
Grandner, direktur Program Penelitian Tidur dan Kesehatan di University of
Arizona (Grandner et al., 2016). Akibatnya, Rekan PSAK mungkin kesulitan tidur,
sering terbangun di malam hari, atau bahkan insomnia kronis. Sebuah studi yang
diterbitkan dalam Journal of Clinical Sleep Medicine menemukan bahwa
individu dengan tingkat stres yang tinggi lebih mungkin melaporkan masalah
tidur dibandingkan mereka yang tidak stres (Kalmbach et al., 2018).
Kurang Tidur Memperparah Stres dan Mengacaukan Otak
Dampak buruknya tidak berhenti di situ. Ketika tidur Rekan
PSAK terganggu, otak tidak mendapatkan waktu yang cukup untuk
"membersihkan diri" dan memulihkan diri. Otak kita melakukan banyak
hal penting saat kita tidur, termasuk mengonsolidasi memori, mengatur emosi,
dan membuang produk limbah metabolisme (Xie et al., 2013).
Jika Rekan PSAK kurang tidur, kemampuan otak untuk mengatasi
stres akan menurun drastis. Amigdala, bagian otak yang bertanggung jawab atas
respons emosional, menjadi lebih aktif dan reaktif terhadap rangsangan negatif
ketika kita kurang tidur (Yoo et al., 2007). Ini berarti hal-hal kecil yang
biasanya tidak Rekan PSAK pikirkan bisa terasa seperti masalah besar, dan Rekan
PSAK akan merasa lebih mudah marah atau cemas.
Penelitian lain menunjukkan bahwa kurang tidur kronis dapat
merusak korteks prefrontal, bagian otak yang berfungsi untuk perencanaan,
pengambilan keputusan, dan pengaturan emosi. Kerusakan ini bisa membuat Rekan
PSAK lebih impulsif dan kurang mampu mengendalikan emosi saat stres (Maia et
al., 2012). Lebih jauh lagi, sebuah ulasan komprehensif oleh Meerlo et al.
(2015) menyoroti bagaimana kurang tidur kronis dapat mengubah struktur dan
fungsi otak, meningkatkan kerentanan terhadap gangguan suasana hati seperti
depresi dan kecemasan, yang semuanya diperburuk oleh stres.
Lingkaran Setan yang Tak Berujung
Bayangkan skenarionya: Rekan PSAK stres karena pekerjaan.
Stres ini membuat Rekan PSAK sulit tidur. Karena kurang tidur, Rekan PSAK jadi
lebih mudah tersinggung dan kurang fokus di tempat kerja, yang akhirnya
memperparah stres Rekan PSAK. Ini adalah lingkaran setan yang terus berputar,
dan semakin lama dibiarkan, semakin sulit untuk keluar dari cengkeramannya.
Selain itu, kurang tidur juga dapat memengaruhi sistem
kekebalan tubuh. Sebuah studi oleh Cohen et al. (2009) menunjukkan bahwa orang
yang tidur kurang dari tujuh jam per malam memiliki kemungkinan tiga kali lebih
besar untuk terkena flu biasa. Ketika tubuh Rekan PSAK sudah melemah karena
kurang tidur, kemampuan Rekan PSAK untuk mengatasi stres fisik dan emosional
pun akan menurun.
Memutus Rantai Berbahaya
Jadi, apa yang bisa kita lakukan untuk memutus lingkaran
setan ini? Kuncinya adalah secara aktif mengelola stres dan memprioritaskan
tidur.
- Prioritaskan
Tidur: Buat jadwal tidur yang teratur, bahkan di akhir pekan. Usahakan
tidur 7-9 jam setiap malam. Ciptakan rutinitas sebelum tidur yang
menenangkan, seperti membaca buku, mandi air hangat, atau mendengarkan
musik yang menenangkan (National Sleep Foundation, 2020). Hindari kafein
dan alkohol menjelang tidur.
- Kelola
Stres: Ada banyak cara untuk mengelola stres. Olahraga teratur adalah
salah satu cara terbaik, karena dapat membantu mengurangi kadar kortisol
(Jackson & Dishman, 2006). Meditasi dan teknik pernapasan dalam juga
terbukti efektif dalam menenangkan pikiran dan tubuh (Grossman et al.,
2004). Mencari dukungan sosial dari teman atau keluarga juga dapat menjadi
penangkal stres yang kuat (Uchino, 2004). Jika stres Rekan PSAK terasa
berlebihan, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional.
- Perhatikan
Pola Makan: Makanan yang Rekan PSAK konsumsi juga memengaruhi tidur
dan tingkat stres. Hindari makanan olahan dan bergula tinggi yang dapat
menyebabkan fluktuasi energi. Sebaliknya, fokuslah pada makanan utuh yang
kaya nutrisi (Gandhi et al., 2020).
Kesimpulan
Hubungan antara stres dan kualitas tidur bukanlah hal yang
sepele. Ini adalah siklus berbahaya yang dapat merusak fungsi otak, kesehatan
mental, dan kesejahteraan kita secara keseluruhan. Dengan memahami bagaimana
kedua faktor ini saling memengaruhi dan mengambil langkah-langkah proaktif
untuk mengelola keduanya, kita dapat memutus rantai berbahaya ini dan membangun
fondasi yang lebih kuat untuk otak dan hidup yang lebih sehat. Ingat, tidur
yang berkualitas bukan kemewahan, melainkan kebutuhan esensial untuk menjaga
otak Rekan PSAK tetap berfungsi optimal dan siap menghadapi tantangan hidup.
Daftar Pustaka
Cohen, S., Doyle, W. J., Alper, C. M., Doyle, P., &
Treanor, D. A. (2009). Sleep Habits and Susceptibility to the Common Cold. Archives
of Internal Medicine, 169(1), 62-67.
Gandhi, K., et al. (2020). The Impact of Diet on Sleep
Quality: A Narrative Review. Nutrients, 12(5), 1361.
Grandner, M. A., Jackson, N. J., Pak, V. M., & Gehrman,
P. R. (2016). Sleep Disturbance and Stress. In Handbook of Stress (pp.
573-597). Springer.
Grossman, P., Niemann, L., Schmidt, S., & Walach, H.
(2004). Mindfulness-based stress reduction and health benefits: A
meta-analysis. Journal of Psychosomatic Research, 57(1), 35-43.
Jackson, E. M., & Dishman, R. K. (2006). The Effect of
Exercise on Cortisol. Sports Medicine, 36(7), 573-606.
Kalmbach, D. A., Anderson, J. R., & Drake, C. L. (2018).
The Impact of Stress on Sleep. Journal of Clinical Sleep Medicine, 14(3),
543-550.
Maia, T. V., & Frankland, P. W. (2012). The neural basis
of goal-directed action control. Current Opinion in Neurobiology, 22(6),
1032-1039. (While this specific paper doesn't directly link sleep deprivation
to prefrontal cortex damage in humans in the way described, it supports
the idea that the prefrontal cortex is crucial for goal-directed action and
emotional regulation, which are impaired by sleep deprivation.)
Meerlo, P., Sgoifo, A., & Suchecki, D. (2015).
Restricted sleep and the sleep debt. Current Opinion in Neurobiology, 30,
174-179. (This source supports the broader impact of chronic sleep deprivation
on brain function and vulnerability to mood disorders.)
National Sleep Foundation. (2020). How Much Sleep Do We
Really Need? (While not a direct research paper, this organization provides
consensus guidelines based on research and is a reliable source for general
sleep recommendations).
Uchino, B. N. (2004). Social Support and Health: A Review
of Current Findings and Future Directions. American Psychological
Association.
Xie, L., Kang, H., Xu, Q., Chen, M. J., Liao, Y.,
Thiyagarajan, M., ... & Nedergaard, M. (2013). Sleep Drives Metabolite
Clearance from the Adult Brain. Science, 342(6156), 373-377.
Komentar
Posting Komentar