![]() |
Ilustrasi stres (Pexel.com) |
Agus Syarifudin Partadiredja Tanuarga
Pernah merasa jantung berdebar kencang, tangan dingin, atau napas tersengal-sengal padahal Rekan PSAK cuma dikejar deadline atau berhadapan dengan atasan yang lagi bad mood? Selamat, Rekan PSAK baru saja merasakan respons fight-or-flight klasik. Tapi jangan langsung cap diri Rekan PSAK punya masalah kecemasan atau "penyakit mental" lainnya. Seringkali, ini bukan tentang kesehatan mental yang rapuh, melainkan karena otak primitif Rekan PSAK sedang dalam mode siaga.
Kita sering menganggap stres sebagai momok modern yang
identik dengan gaya hidup serba cepat. Tapi sebenarnya, respons stres adalah
fitur bawaan yang sudah ada sejak nenek moyang kita harus berhadapan dengan
predator ganas di sabana. Ini bukan kelemahan, melainkan sebuah mekanisme
bertahan hidup yang luar biasa canggih.
Otak Primitif: Alarm Anti-Punah Rekan PSAK
Di dalam kepala kita, ada dua bagian otak yang punya peran
sangat besar dalam urusan stres ini: amigdala dan batang otak.
Anggap saja amigdala itu seperti satpam 24 jam yang selalu siaga, sementara
batang otak adalah pusat kendali darurat yang bisa mengaktifkan seluruh sistem
tubuh Rekan PSAK dalam sekejap.
Ketika Rekan PSAK menghadapi situasi yang dianggap berbahaya
– entah itu singa yang mengaum di depan mata (dulu) atau email dari klien yang
isinya komplen (sekarang) – amigdala langsung bereaksi. Sebuah studi oleh
LeDoux (2000) menjelaskan bahwa amigdala memproses informasi sensorik dengan
sangat cepat, bahkan sebelum otak rasional kita sempat berpikir. Ini alasannya Rekan
PSAK bisa langsung kaget atau panik tanpa sempat mencerna dulu apa yang
terjadi.
Begitu amigdala berteriak "Bahaya!", sinyal
langsung dikirim ke batang otak. Batang otak ini terhubung dengan sistem saraf
otonom, yang bertanggung jawab mengatur fungsi tubuh tanpa perlu Rekan PSAK
sadari, seperti detak jantung, pernapasan, dan tekanan darah. Seketika, tubuh Rekan
PSAK akan mengaktifkan respons fight-or-flight:
- Jantung
berdetak lebih cepat: Memompa darah lebih banyak ke otot untuk
persiapan lari atau bertarung.
- Pernapasan
memburu: Meningkatkan asupan oksigen.
- Otot
menegang: Siap untuk bergerak.
- Pencernaan
melambat: Energi dialihkan ke fungsi yang lebih vital untuk bertahan
hidup.
- Keringat
dingin: Mendinginkan tubuh yang bekerja keras.
Semua ini terjadi dalam hitungan milidetik. Hebat, bukan?
Ini adalah warisan evolusi yang membuat nenek moyang kita bisa selamat dari
kepunahan.
Stres Modern: Ketika Otak Primitif Salah Paham
Masalahnya, otak primitif kita tidak bisa membedakan antara
ancaman fisik sungguhan (singa!) dengan ancaman psikologis atau sosial (bos
marah, deadline mepet). Bagi amigdala, deadline yang molor sama
bahayanya dengan dikejar harimau. Akibatnya, respons fight-or-flight ini
seringkali aktif di situasi yang tidak benar-benar mengancam nyawa, tapi justru
malah bikin kita tidak nyaman dan kesulitan berfungsi.
Coba bayangkan:
- Tenggat
waktu yang ketat: Rekan PSAK merasakan tekanan yang luar biasa,
jantung berdebar, dan pikiran kalut. Ini karena otak primitif Rekan PSAK
sedang bersiap untuk "melarikan diri" dari pekerjaan yang
menumpuk.
- Konflik
di tempat kerja: Saat adu argumen dengan rekan kerja, tubuh Rekan PSAK
mungkin bereaksi seolah sedang berhadapan dengan lawan fisik. Rekan PSAK
mungkin merasa tegang, ingin membela diri habis-habisan (respons fight),
atau justru ingin menghindari konflik sama sekali (respons flight).
- Presentasi
di depan umum: Keringat dingin dan mulut kering bukan karena Rekan
PSAK punya masalah kesehatan. Itu hanya amigdala yang mengira Rekan PSAK
sedang "diserang" oleh tatapan mata banyak orang.
Fenomena ini dijelaskan lebih lanjut oleh Sapolsky (2004)
dalam bukunya Why Zebras Don't Get Ulcers. Zebra di alam liar hanya
stres saat dikejar singa, dan begitu bahaya berlalu, mereka kembali santai.
Manusia modern, di sisi lain, seringkali terjebak dalam kondisi stres kronis
karena otak primitif kita terus-menerus "menyala" oleh ancaman-ancaman
non-fisik.
Bagaimana Mengakali Otak Primitif Rekan PSAK?
Memahami bagaimana otak primitif bekerja adalah langkah
pertama untuk mengelola stres dengan lebih baik. Rekan PSAK tidak bisa
mematikan respons fight-or-flight, tapi Rekan PSAK bisa belajar
"memberi tahu" otak primitif bahwa tidak semua ancaman itu harus
ditanggapi dengan panik.
Beberapa strategi yang bisa Rekan PSAK coba:
- Bernapas
dalam: Saat merasa panik, tarik napas dalam-dalam melalui hidung,
tahan sebentar, lalu embuskan perlahan melalui mulut. Ini mengirim sinyal
ke batang otak bahwa Rekan PSAK aman, sehingga respons fight-or-flight
bisa diredam.
- Sadari
dan namai: Kenali sensasi fisik yang muncul saat stres. "Oke,
jantungku berdebar kencang karena aku takut deadline ini nggak
beres." Dengan memberi nama pada emosi dan sensasi, Rekan PSAK
mengaktifkan korteks prefrontal (otak rasional), yang bisa membantu
menenangkan amigdala.
- Bergerak:
Olahraga atau aktivitas fisik ringan bisa membantu melepaskan energi yang
terkumpul akibat respons fight-or-flight.
- Ubah
persepsi: Alih-alih melihat deadline sebagai ancaman, coba
anggap sebagai tantangan atau kesempatan untuk menunjukkan kemampuan Rekan
PSAK.
Jadi, lain kali Rekan PSAK merasa stres, ingatlah: itu bukan
kelemahan. Itu hanya otak primitif Rekan PSAK yang terlalu sigap. Dengan
sedikit latihan dan pemahaman, Rekan PSAK bisa belajar untuk
"membujuknya" agar tidak terlalu panik saat tidak ada singa sungguhan
di depan mata Rekan PSAK.
Referensi:
LeDoux, J. E. (2000). Cognitive-emotional interactions:
implications for understanding anxiety disorders. In Anxiety, Depression,
and Emotion (pp. 235-261). Oxford University Press.
Komentar
Posting Komentar