![]() |
Ilustrasi Kurma sebagai nutrisi otak |
Agus Syarifudin Partadiredja Tanuarga
Kita semua tahu kalau stres itu bagian dari hidup. Deadline pekerjaan, tagihan yang menumpuk, atau bahkan kemacetan lalu lintas bisa memicu respons stres. Tapi, pernahkah Rekan PSAK berpikir kalau apa yang Rekan PSAK makan setiap hari bisa jadi penentu seberapa baik otak Rekan PSAK mengatasi semua tekanan itu? Jangan salah, ini bukan tentang diet ketat atau pantangan aneh, melainkan tentang nutrisi otak yang sering kita abaikan.
Makanan Bukan Sekadar Pengisi Perut, Tapi "Bahan
Bakar" Otak
Otak Rekan PSAK, dengan berat hanya sekitar 2% dari total
berat badan, mengonsumsi sekitar 20% energi tubuh Rekan PSAK. Ini adalah mesin
super canggih yang butuh "bahan bakar" premium agar bisa berfungsi
optimal. Saat bahan bakar ini kurang, atau justru salah, dampaknya bisa
langsung terasa pada kemampuan otak mengelola stres.
Bayangkan saja, jika Rekan PSAK mengisi mobil sport dengan
bensin kualitas rendah, performanya pasti menurun, kan? Begitu juga otak kita.
Makanan yang kita konsumsi tidak hanya memengaruhi kadar gula darah atau berat
badan, tapi juga langsung berdampak pada produksi neurotransmitter, regulasi
hormon stres, dan bahkan kesehatan sel saraf itu sendiri (Gómez-Pinilla, 2008).
Saat Nutrisi Kurang, Stres Semakin Merajalela
Ketika otak kekurangan nutrisi esensial, sistem saraf kita
menjadi lebih rentan terhadap dampak negatif stres. Ibaratnya, tubuh tidak
punya "perisai" yang cukup kuat untuk menangkis serangan.
- Gula
Darah yang Naik Turun: Diet tinggi gula dan karbohidrat olahan dapat
menyebabkan lonjakan dan penurunan gula darah secara drastis. Fluktuasi
ini memicu pelepasan hormon stres seperti kortisol dan adrenalin, membuat Rekan
PSAK merasa lebih cemas dan mudah tersinggung (Breit et al., 2018). Otak Rekan
PSAK jadi "gampang panik."
- Peradangan
Kronis: Makanan olahan, lemak trans, dan gula berlebihan bisa memicu
peradangan kronis dalam tubuh, termasuk di otak. Peradangan ini telah
dikaitkan dengan peningkatan risiko gangguan suasana hati dan respons
stres yang berlebihan (Leonard & Maes, 2012).
- Kurangnya
"Bahan Baku" Neurotransmitter: Neurotransmitter seperti
serotonin (mood baik) dan dopamin (motivasi) diproduksi dari nutrisi
tertentu. Misalnya, triptofan dari makanan kaya protein adalah prekursor
serotonin. Kekurangan nutrisi ini bisa mengganggu keseimbangan kimia otak,
membuat Rekan PSAK lebih rentan terhadap stres dan depresi (Jenkins et
al., 2016).
Pahlawan Nutrisi untuk Otak Antistres
Lalu, nutrisi apa saja yang bisa menjadi
"pahlawan" untuk otak kita agar lebih tangguh menghadapi stres?
- Omega-3
(EPA & DHA): Asam lemak esensial ini adalah kunci untuk kesehatan
otak. Mereka membantu mengurangi peradangan, meningkatkan plastisitas
otak, dan berperan dalam produksi neurotransmitter. Sumber terbaik adalah
ikan berlemak seperti salmon, sarden, atau suplemen minyak ikan
berkualitas tinggi (Larrieu & Layé, 2018). Penelitian menunjukkan
bahwa omega-3 dapat menurunkan kadar kortisol dan mengurangi gejala
kecemasan (Bradbury et al., 2019).
- Vitamin
B Kompleks: Vitamin B, terutama B6, B9 (folat), dan B12, sangat
penting untuk produksi neurotransmitter dan metabolisme energi di otak.
Kekurangan vitamin B dapat menyebabkan kelelahan, iritabilitas, dan
peningkatan stres (Stough et al., 2014). Sumbernya meliputi sayuran hijau
gelap, biji-bijian utuh, dan daging tanpa lemak.
- Magnesium:
Mineral ini sering disebut "relaksan alami." Magnesium berperan
dalam lebih dari 300 reaksi enzimatik dalam tubuh, termasuk yang mengatur
respons stres. Kekurangan magnesium dapat memperburuk gejala kecemasan dan
stres (Sartori et al., 2012). Kacang-kacangan, biji-bijian, dan cokelat
hitam adalah sumber yang baik.
- Antioksidan
(Vitamin C, E, Beta-karoten): Stres oksidatif dapat merusak sel-sel
otak. Antioksidan dari buah-buahan dan sayuran berwarna-warni membantu
melawan radikal bebas ini, melindungi otak dari kerusakan dan menjaga
fungsinya tetap optimal (Boehm et al., 2012).
- Probiotik
(Kesehatan Usus-Otak): Usus sering disebut "otak kedua."
Keseimbangan bakteri baik di usus (mikrobioma) sangat memengaruhi produksi
neurotransmitter dan respons stres melalui jalur komunikasi usus-otak
(Bravo et al., 2011). Konsumsi makanan fermentasi seperti yogurt, kimchi,
atau tempe dapat membantu menjaga kesehatan usus.
- Triptofan:
Asam amino esensial ini merupakan prekursor serotonin, neurotransmitter
yang berperan dalam pengaturan suasana hati dan tidur. Sumbernya bisa dari
telur, kalkun, biji labu, dan keju (Jenkins et al., 2016).
Mencari Solusi Alami yang Menopang
Melihat betapa pentingnya nutrisi bagi kesehatan otak dan
respons stres, tidak heran jika banyak orang mulai mencari cara alami untuk
melengkapi asupan harian mereka. Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern,
seringkali sulit untuk mendapatkan semua nutrisi penting dari makanan saja.
Inilah mengapa banyak yang beralih ke suplemen nutrisi atau ekstrak herbal yang
diformulasikan khusus untuk mendukung fungsi otak dan sistem saraf.
Beberapa tumbuhan herbal, misalnya, telah lama dikenal dalam
pengobatan tradisional karena sifat adaptogeniknya, yaitu kemampuannya membantu
tubuh beradaptasi terhadap stres dan mengembalikan keseimbangan (Panossian
& Wikman, 2010). Contohnya seperti ashwagandha atau rhodiola, yang dapat
membantu menormalkan kadar kortisol dan meningkatkan ketahanan terhadap stres
(Lopresti et al., 2019; Anghelescu et al., 2018). Meskipun demikian, penting
untuk selalu berkonsultasi dengan profesional kesehatan sebelum memulai
suplemen apa pun.
Kesimpulan
Singkatnya, apa yang Rekan PSAK masukkan ke dalam tubuh Rekan
PSAK memiliki dampak langsung pada kemampuan otak untuk mengatasi stres.
Mengabaikan nutrisi otak sama saja dengan membiarkan perisai Rekan PSAK
berkarat di tengah medan perang. Dengan memilih makanan yang kaya nutrisi
penting dan mempertimbangkan suplemen yang mendukung, Rekan PSAK tidak hanya
memberi makan tubuh, tetapi juga memberdayakan otak Rekan PSAK untuk menjadi
lebih tangguh, tenang, dan siap menghadapi segala tantangan hidup. Jadi, mulai
sekarang, berpikirlah dua kali tentang apa yang Rekan PSAK masukkan ke piring Rekan
PSAK. Otak Rekan PSAK akan berterima kasih!
Daftar Pustaka
Anghelescu, I. G., et al. (2018). Rhodiola rosea
versus sertraline for major depressive disorder: A randomized clinical trial. Phytomedicine,
44, 1-9.
Boehm, J. K., et al. (2012). The Effects of Antioxidants on
Brain Health. Progress in Neurobiology, 99(1), 1-17.
Bradbury, J., et al. (2019). Docosahexaenoic Acid and
Anxiety: A Systematic Review and Meta-Analysis. Nutrients, 11(3),
541.
Bravo, J. A., et al. (2011). Ingestion of Lactobacillus
rhamnosus (JB-1) affects brain GABA receptors in the mouse. Proceedings
of the National Academy of Sciences, 108(38), 16050-16055.
Breit, S., et al. (2018). The Gut-Brain Axis and Its
Relevance to the Brain. Biological Psychiatry, 83(5), 453-460.
Gómez-Pinilla, F. (2008). Brain foods: the effects of
nutrients on brain function. Nature Reviews Neuroscience, 9(7),
568-578.
Jenkins, T. A., et al. (2016). Influence of Tryptophan and
Serotonin on Mood and Cognition with a Possible Role of the Gut-Brain Axis. Nutrients,
8(1), 56.
Larrieu, T., & Layé, S. (2018). Food for thought: How
nutrition impacts the hippocampus and brain function. Progress in
Neurobiology, 160, 23-44.
Leonard, B., & Maes, M. (2012). The inflammatory
response system and the pathophysiology of depression: More than just a
biomarker. Neuroscience & Biobehavioral Reviews, 36(7),
1649-1656.
Lopresti, A. L., et al. (2019). An investigation into the
stress-relieving and pharmacological actions of an ashwagandha (Withania
somnifera) root extract: A randomized, double-blind, placebo-controlled study. Medicine
(Baltimore), 98(37), e17186.
Panossian, A., & Wikman, G. (2010). Effects of
Adaptogens on the Central Nervous System. Pharmaceuticals, 3(1),
188-224.
Sartori, S. B., et al. (2012). Magnesium deficiency induces
anxiety and anxiolytic-like responses in mice. Journal of Pharmacological
Sciences, 120(4), 258-265.
Komentar
Posting Komentar