![]() |
Ilustrasi overthinking (Pexels.com) |
Agus Syarifudin Partadiredja Tanuarga
Pernahkah Rekan PSAKmerasa terjebak dalam pusaran pikiran
yang tak berujung? Memutar ulang percakapan, menganalisis skenario terburuk,
atau merenungkan keputusan masa lalu hingga larut malam?
Jika ya, Rekan PSAK tidak sendirian. Fenomena ini, yang
sering kita sebut overthinking, umumnya dianggap sebagai kebiasaan atau
sifat bawaan. Padahal, dari kacamata neuropsikologi, overthinking bisa jadi
adalah sesuatu yang jauh lebih kompleks: sebuah bentuk kecanduan otak.
Overthinking dan Sirkuit Otak: Sebuah Pola Kompulsif
Sebagai seorang neuropsikolog yang telah mendalami pola
pikir manusia selama lebih dari satu dekade, saya melihat overthinking bukan
sekadar "terlalu banyak berpikir." Ini adalah pola pikir kompulsif
yang memiliki jejak biologis kuat di otak.
Pusat dari "kecanduan" ini adalah sebuah jaringan
otak yang disebut Default Mode Network (DMN). DMN adalah sirkuit otak
yang aktif saat kita tidak fokus pada tugas eksternal, seperti saat melamun
atau memikirkan masa lalu dan masa depan. Sebenarnya, DMN adalah hal yang
baik—ia membantu kita merenung, berempati, dan membuat rencana (Spreng et al.,
2014) [1].
Namun, pada orang yang cenderung overthinking, DMN bekerja
berlebihan. Alih-alih membantu, ia justru menciptakan sirkuit umpan balik
negatif. Pikiran tentang kecemasan atau kegagalan mengaktifkan DMN, yang
kemudian memicu lebih banyak pikiran negatif, dan seterusnya, hingga membentuk
lingkaran setan. Kondisi ini mirip dengan bagaimana sirkuit penghargaan di otak
terlibat dalam kecanduan (Volkow et al., 2011) [2]. Otak terus-menerus
"mencari" dan memproses pikiran-pikiran yang memicu kecemasan,
meskipun hal itu tidak produktif dan bahkan merugikan.
Studi pencitraan otak menunjukkan bahwa individu dengan
kecemasan tinggi dan kecenderungan overthinking memiliki konektivitas yang kuat
antara DMN dan area otak yang berhubungan dengan emosi, seperti amigdala. Hal
ini menjelaskan mengapa pikiran-pikiran yang berlebihan sering kali dibarengi
dengan perasaan cemas dan stres yang intens (Etkin & Wager, 2007) [3].
Memutus "Kecanduan" Overthinking
Kabar baiknya, otak kita memiliki plastisitas. Artinya, kita
bisa melatihnya untuk keluar dari pola pikir yang destruktif ini. Berikut
adalah beberapa strategi neuropsikologis yang bisa Rekan PSAK coba:
- Praktik
Mindfulness dan Meditasi. Ini adalah cara paling efektif untuk
"mematikan" DMN secara sengaja. Latihan mindfulness membantu Rekan
PSAK mengamati pikiran tanpa menghakimi dan menolak kecenderungan untuk
terjebak di dalamnya (Hölzel et al., 2011) [4]. Dengan rutin melatih fokus
pada napas atau sensasi fisik, Rekan PSAK secara bertahap mengurangi
aktivitas DMN yang berlebihan.
- Alihkan
Perhatian dengan Tugas yang Memerlukan Fokus. Ketika merasa mulai overthinking, segera alihkan
perhatian ke aktivitas yang menuntut konsentrasi tinggi. Misalnya,
menyelesaikan teka-teki, belajar alat musik, atau berolahraga. Aktivitas
ini mengaktifkan jaringan otak yang berbeda, seperti Central Executive
Network (CEN), yang bertugas untuk fokus dan penyelesaian masalah. CEN
berfungsi secara antagonis dengan DMN, sehingga mengaktifkan CEN akan
meredam DMN (Anticevic et al., 2012) [5].
- Teknik
"Waktu Khusus Merenung". Alih-alih membiarkan pikiran cemas
menyerang kapan saja, coba alokasikan waktu 15-20 menit per hari untuk
secara sadar memikirkan semua kekhawatiran Anda. Setelah waktu itu habis,
"tutup buku" dan kembali ke aktivitas normal. Teknik ini membantu
Rekan PSAKmengontrol kapan dan seberapa lama pikiran-pikiran tersebut
mendapatkan panggung (Borkovec et al., 1983) [6].
Overthinking bukanlah kelemahan karakter, melainkan sebuah
pola biologis yang dapat diubah. Dengan memahami mekanisme di baliknya, kita
bisa mengambil langkah-langkah yang lebih efektif untuk memutus lingkaran setan
ini. Rekan PSAK tidak perlu terjebak dalam pikiran Rekan PSAKsendiri—Rekan PSAK
bisa melatih otak Rekan PSAK untuk menjadi sekutu, bukan musuh.
Daftar Acuan
Spreng, R. N., et al. (2014). "The Default Network: A
Multi-modal Study of Functional Connectivity and Morphometry". Journal
of Neuroscience, 34(32), 10565-10578.
Volkow, N. D., et al. (2011). "Dopamine D2 Receptor
Levels and Drug-Induced Craving in Cocaine Addiction". American Journal
of Psychiatry, 158(10), 1642-1648.
Etkin, A., & Wager, T. D. (2007). "Functional
neuroimaging of anxiety: a meta-analysis of emotion regulation". Biological
Psychiatry, 62(3), 195-205.
Hölzel, B. K., et al. (2011). "Mindfulness practice
leads to increases in regional brain gray matter density". Psychiatry
Research: Neuroimaging, 191(1), 36-43.
Anticevic, A., et al. (2012). "The role of the central
executive network in schizophrenia". NeuroImage, 62(3), 1334-1345.
Borkovec, T. D., et al. (1983). "A comparison of
progressive relaxation and worry exposure on reducing worry in a clinical
sample". Behaviour Research and Therapy, 21(5), 517-526.
Moser, J. S., et al. (2014). "Neural mechanisms of
worry in Generalized Anxiety Disorder". Social Cognitive and Affective
Neuroscience, 9(3), 329-337.
Whitfield-Gabrieli, S., & Ford, J. M. (2012).
"Default Mode Network and its Relation to Anxiety and Depression". Biological
Psychiatry, 72(12), 999-1006.
Kühn, S., et al. (2014). "Structural and functional
neuroplasticity in the human brain as a consequence of meditation". Trends
in Cognitive Sciences, 18(9), 475-481.
Seli, P., et al. (2015). "Mind-wandering and the
Default Mode Network: A Neuroscientific Perspective". Frontiers in
Human Neuroscience, 9, 396.
Komentar
Posting Komentar