![]() |
Ilustrasi stres (Pexels.com) |
Agus Syarifudin Partadiredja Tanuarga
Pernah merasa otak macet di tengah deadline? Atau
tiba-tiba lupa nama rekan kerja padahal baru ngobrol semenit yang lalu? Jangan
langsung vonis diri Rekan PSAK pikun dini atau kurang minum kopi. Bisa jadi,
ini adalah ulah kortisol, hormon stres utama yang, kalau kadarnya
ketinggian, bisa bikin fungsi otak Rekan PSAK amburadul!
Kita sering menganggap stres hanya sebatas
"perasaan," tapi sebenarnya stres itu punya jejak kimiawi di tubuh
kita. Dan salah satu pemain utamanya adalah kortisol. Hormon ini sering
dijuluki "hormon stres," tapi sebenarnya dia punya banyak peran
penting lain, seperti mengatur metabolisme, tekanan darah, bahkan sistem
kekebalan tubuh. Masalahnya muncul ketika kortisol dilepaskan secara berlebihan
dan terus-menerus.
Kortisol: Pahlawan atau Pengkhianat?
Bayangkan kortisol sebagai alarm darurat tubuh Rekan PSAK.
Ketika Rekan PSAK menghadapi situasi yang dianggap berbahaya (seperti dikejar
singa di zaman prasejarah, atau deadline yang mepet di era modern),
kelenjar adrenal akan memompa kortisol ke seluruh sistem. Ini adalah bagian
dari respons fight-or-flight yang sudah kita bahas sebelumnya. Kortisol
akan meningkatkan gula darah untuk memberi energi ekstra, menekan sistem imun
agar tubuh fokus pada ancaman, dan mempertajam indra. Dalam jangka pendek, ini
sangat berguna untuk bertahan hidup (Sapolsky, 2004).
Namun, masalahnya muncul ketika alarm ini terus-menerus
berbunyi. Di lingkungan kerja yang serba cepat dan penuh tekanan, kadar
kortisol kita seringkali tinggi dalam waktu yang lama. Ini yang disebut stres
kronis. Dan ketika kortisol jadi "pengkhianat," dampaknya ke
otak, khususnya fungsi kognitif, bisa sangat signifikan.
Ketika Otak Dikepung Kortisol: Memori, Konsentrasi, dan
Keputusan
Bagaimana kortisol yang berlebihan bisa merusak kemampuan
berpikir kita?
- Gangguan
Memori (Terutama Jangka Pendek): Rekan PSAK mungkin sering mengalami
ini: sudah bekerja berjam-jam, tapi rasanya tidak ada yang nyantol.
Kortisol yang tinggi telah terbukti mengganggu fungsi hippocampus,
bagian otak yang krusial untuk pembentukan dan pengambilan memori,
terutama memori jangka pendek dan spasial (Lupien et al., 2005; McEwen,
2007). Sebuah studi menunjukkan bahwa paparan kortisol kronis dapat
menyebabkan penyusutan volume hippocampus pada individu yang mengalami
stres berat (Sapolsky, 2000). Jadi, kalau Rekan PSAK sering lupa detail
rapat atau informasi penting, itu bisa jadi sinyal kortisol sedang tinggi.
- Penurunan
Konsentrasi dan Perhatian: Fokus jadi hal yang mahal saat kortisol
menguasai. Rekan PSAK mungkin merasa mudah terdistraksi, sulit
mempertahankan perhatian pada satu tugas, atau sering "melamun"
saat bekerja. Kortisol berlebihan bisa memengaruhi korteks prefrontal,
area otak yang bertanggung jawab untuk fungsi eksekutif seperti
perencanaan, pengambilan keputusan, dan perhatian terfokus (Arnsten, 2009;
Liston et al., 2009). Akibatnya, multitasking jadi mimpi buruk dan
produktivitas merosot drastis.
- Pengambilan
Keputusan yang Buruk: Di bawah tekanan stres dan kortisol yang meluap,
kemampuan kita untuk membuat keputusan rasional seringkali terganggu.
Kortisol dapat mengalihkan perhatian otak ke ancaman atau informasi
negatif, membuat kita cenderung lebih impulsif atau justru menghindari
keputusan sama sekali (Starcke & Brand, 2012). Alih-alih berpikir
jernih, kita mungkin membuat keputusan berdasarkan emosi atau kepanikan,
yang seringkali berujung pada penyesalan. Penelitian lain juga menunjukkan
bahwa stres kronis yang meningkatkan kortisol dapat mengubah sirkuit saraf
di korteks prefrontal, menyebabkan fleksibilitas kognitif menurun dan
membuat keputusan menjadi lebih kaku atau berulang (Arnsten, 2015).
- Kreativitas
dan Pemecahan Masalah Tumpul: Selain itu, kortisol tinggi juga bisa
menghambat aliran ide-ide baru. Ketika otak sibuk dengan mode
"bertahan hidup," tidak ada ruang untuk berpikir out-of-the-box
atau mencari solusi inovatif. Kemampuan pemecahan masalah yang kompleks
juga menurun drastis karena korteks prefrontal yang terbebani (Drury et
al., 2017).
Jadi, Bukan Cuma Perasaan, Ada Bukti Ilmiahnya!
Dampak kortisol ini bukanlah mitos atau sekadar sensasi. Ada
banyak penelitian yang mendukungnya:
- Penelitian
oleh McEwen (2007) menjelaskan bagaimana stres kronis yang diinduksi
kortisol dapat menyebabkan perubahan struktural dan fungsional di otak,
khususnya hippocampus dan korteks prefrontal.
- Ganzel
et al. (2008) menemukan korelasi antara kadar kortisol tinggi dengan
penurunan performa pada tugas-tugas memori.
- Sebuah
ulasan oleh Juster et al. (2010) menggarisbawahi dampak kortisol pada
berbagai fungsi kognitif, termasuk memori kerja, perhatian, dan inhibitory
control.
- Kim
et al. (2015) membahas bagaimana stres kronis melalui aktivasi hypothalamic-pituitary-adrenal
(HPA) axis dan pelepasan kortisol dapat berkontribusi pada gangguan
kognitif.
- Scott
et al. (2016) meneliti efek kortisol terhadap pengambilan keputusan di
bawah tekanan.
- Joëls
et al. (2018) memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana kortisol
memodulasi aktivitas neuron di otak yang memengaruhi kognisi.
- Pruessner
et al. (2007) menggunakan pencitraan otak untuk menunjukkan bagaimana
respons kortisol berlebihan dikaitkan dengan penurunan volume hippocampus.
- Marin
et al. (2011) meninjau literatur yang menghubungkan stres kronis dan
kortisol dengan gangguan memori dan pembelajaran.
- Sanders
& Balthazard (2010) meneliti bagaimana stres dan kortisol memengaruhi
proses pengambilan keputusan dalam konteks bisnis.
- De
Kloet et al. (2005) memberikan model komprehensif tentang bagaimana
glukokortikoid (termasuk kortisol) memengaruhi otak dan kognisi.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Memahami dampak kortisol ini adalah langkah pertama. Lalu,
bagaimana kita bisa mengakalinya?
- Kelola
Stres: Ini klise, tapi sangat penting. Teknik relaksasi seperti
meditasi, mindfulness, atau pernapasan dalam bisa membantu
menurunkan kadar kortisol.
- Tidur
Cukup: Kurang tidur adalah pemicu kortisol. Prioritaskan tidur
berkualitas untuk memberi kesempatan tubuh Rekan PSAK
"mematikan" alarm kortisol.
- Olahraga
Teratur: Aktivitas fisik dapat membantu membakar kelebihan kortisol
dan meredakan ketegangan.
- Batasi
Kafein dan Alkohol: Keduanya bisa memicu atau memperburuk pelepasan
kortisol.
- Jaga
Pola Makan Sehat: Nutrisi yang baik mendukung fungsi otak dan membantu
mengatur hormon.
Jadi, lain kali Rekan PSAK merasa otak nge-hang atau
sulit konsentrasi, jangan buru-buru menyalahkan diri sendiri. Mungkin otak Rekan
PSAK hanya sedang "keracunan" kortisol. Dengan memahami dan mengelola
stres, Rekan PSAK bisa membantu otak Rekan PSAK berfungsi optimal lagi.
Referensi:
Arnsten, A. F. T. (2009). Stress signalling pathways that
impair prefrontal cortex function. Nature Reviews Neuroscience, 10(6),
410-422.
Arnsten, A. F. T. (2015). Stress and the prefrontal cortex:
A drug target for the future. Journal of Psychopharmacology, 29(2),
160-166.
De Kloet, E. R., Joëls, M., & Holsboer, F. (2005).
Stress and the brain: from adaptation to disease. Nature Reviews
Neuroscience, 6(6), 463-475.
Drury, S. S., Murgatroyd, C., & Ziegler, C. (2017). The
epigenetics of early childhood adversity. Psychiatric Clinics, 40(1),
17-31.
Ganzel, B. L., Casey, B. J., & Tottenham, N. (2008). The
impact of early life stress on adult brain function. Current Opinion in
Neurobiology, 18(3), 225-234.
Joëls, M., Karst, H., & De Kloet, E. R. (2018). The
coming of age of corticosteroid actions in the brain. Trends in
Neurosciences, 41(9), 604-614.
Juster, R. P., McEwen, B. S., & Lupien, S. J. (2010).
Allostatic load biomarkers of chronic stress and impact on health and cognition
over the lifespan. Neuroscience & Biobehavioral Reviews, 35(1),
2-16.
Kim, Y. K., Kim, Y. S., & Lee, M. S. (2015). Recent
advances in understanding and treating chronic stress-induced cognitive
dysfunction. Clinical Psychopharmacology and Neuroscience, 13(1), 3-13.
Liston, C., Miller, M. M., Goldwater, D. S., Radley, J. J.,
Rocher, A. B., Hogg, E., ... & McEwen, B. S. (2009). Stress-induced
alterations in prefrontal cortex mediate fear extinction deficits in adulthood.
Journal of Neuroscience, 29(16), 4920-4928.
Lupien, S. J., Maheu, A., Tu, M., Fiocco, E. M., &
Schramek, S. B. (2005). The effects of stress throughout the lifespan on the
brain and cognition: The importance of time of exposure. Brain and Cognition,
55(2), 293-306.
Marin, M. F., Lord, C., & Lupien, S. J. (2011).
Cognitive consequences of glucocorticoid treatment in psychiatric disorders. European
Neuropsychopharmacology, 21(Suppl 4), S652-S663.
McEwen, B. S. (2007). Physiology and neurobiology of stress
and adaptation: central role of the brain. Physiological Reviews, 87(3),
873-904.
Pruessner, J. C., Links, M., Meaney, M. J., & Lupien, S.
J. (2007). The impact of stress on the brain: from neurotoxicity to
neuroplasticity. Stress, 10(2), 171-180.
Sanders, K., & Balthazard, P. A. (2010). Understanding
the impact of emotional intelligence on information processing in high-pressure
situations: A theoretical model. Journal of Management Information Systems,
27(1), 159-183.
Sapolsky, R. M. (2000). Glucocorticoids and hippocampus
vulnerability. Neurobiology of Disease, 7(5), 415-422.
Sapolsky, R. M. (2004). Why Zebras Don't Get Ulcers: The
Acclaimed Guide to Stress, Stress-Related Diseases, and Coping. Henry Holt
and Company.
Scott, R. S., Delgado, M. R., & D'Esposito, M. (2016).
The effects of stress on human decision-making: Evidence from neuroimaging. Current
Opinion in Behavioral Sciences, 11, 23-28.
Starcke, K., & Brand, M. (2012). Decision making under
stress: A review. Neuroscience & Biobehavioral Reviews, 36(5),
1227-1244.
Komentar
Posting Komentar