Langsung ke konten utama

Featured post

Apakah Meditasi Hanya Mitos untuk Orang Stres?

Ilustrasi meditasi (Pexels.com)   Agus Syarifudin Partadiredja Tanuarga Pernahkah Rekan PSAK merasa stres melanda, pikiran kalut, dan rasanya ingin lari dari kenyataan? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, stres seolah jadi teman akrab yang tak terpisahkan. Namun, ada satu "senjata rahasia" yang disebut-sebut bisa mengubah otak Rekan PSAK secara fisik untuk melawan stres: mindfulness dan meditasi . Benarkah klaim ini? Atau jangan-jangan, ini hanya tren sesaat yang terlalu dibesar-besarkan? Kita sering mendengar "meditasi itu bagus untuk stres," tapi mungkin banyak dari kita yang skeptis. Bagaimana mungkin hanya dengan duduk diam dan mengatur napas bisa mengubah kerja otak? Jawabannya ada pada sains. Ilmu pengetahuan kini semakin banyak mengungkap bagaimana praktik kuno ini memiliki dampak neurologis yang nyata, bukan sekadar "mitos" yang diwariskan turun-temurun. Otak Rekan PSAK di Bawah Tekanan: Mode "Fight-or-Flight" Saat stres menyera...

Jangan Salahkan Diri Sendiri, Otak Reptil Rekan PSAK Mungkin yang Bertanggung Jawab Atas Overthinking!

Ilustrasi Overthinking (Pexels.com)


Agus Syarifudin Partadiredja Tanuarga

Pernahkah rekan PSAK merasa jantung berdebar kencang, napas memburu, seolah ada bahaya besar yang mengancam, padahal rekan PSAK hanya sedang memikirkan kemungkinan terburuk dari sebuah email?

Jika ya, rekan PSAK tidak sendirian. Sensasi panik dan cemas berlebihan ini sering kita kaitkan dengan overthinking. Namun, tahukah rekan PSAK bahwa di balik respons ekstrem ini, ada bagian otak yang sangat primitif dan purba yang sedang bekerja? Saya menyebutnya "Otak Reptil".

Sebagai ahli neuropsikologi yang telah menelusuri seluk-beluk pikiran manusia selama lebih dari 10 tahun, saya sering melihat bagaimana otak primitif kita, terutama amigdala, berperan besar dalam siklus overthinking. Overthinking bukan sekadar kebiasaan, tetapi bisa jadi respons bawaan otak yang keliru.

Otak Reptil: Sistem Alarm yang Ketinggalan Zaman

Otak manusia berevolusi dalam tiga lapisan (MacLean, 1990) [1]:

  1. Otak Reptil (Brainstem & Cerebellum): Bagian tertua yang mengendalikan fungsi dasar bertahan hidup.
  2. Sistem Limbik (Amigdala & Hippocampus): Bagian yang mengelola emosi dan memori. Di sinilah terletak amigdala, pusat alarm otak kita.
  3. Neokorteks: Lapisan terluar, pusat pemikiran rasional, bahasa, dan kesadaran.

Amigdala adalah bagian dari otak limbik yang bertanggung jawab mendeteksi ancaman dan memicu respons "lawan atau lari" (fight or flight). Saat nenek moyang kita menghadapi predator, amigdala akan mengirim sinyal darurat, membanjiri tubuh dengan hormon stres seperti kortisol dan adrenalin (LeDoux, 2012) [2]. Hasilnya? Detak jantung meningkat, otot menegang, dan indra menjadi lebih peka, semuanya untuk mempersiapkan diri melawan atau melarikan diri dari bahaya nyata.

Dari Harimau ke Deadline: Miskomunikasi di Otak Modern

Di dunia modern, kita jarang berhadapan dengan harimau. Namun, otak reptil kita masih berfungsi dengan cara yang sama. Sayangnya, ia kesulitan membedakan ancaman nyata (misalnya, dikejar anjing) dengan ancaman imajiner atau psikologis (misalnya, kekhawatiran tentang pekerjaan, omongan orang lain, atau deadline).

Saat rekan PSAK terjebak dalam overthinking, pikiran rekan PSAK menciptakan skenario terburuk—sebuah ancaman imajiner. Otak kita, terutama amigdala, menangkap sinyal ini sebagai bahaya nyata. Ini memicu respons "lawan atau lari" yang tidak perlu (Sapolsky, 2004) [3]. Tubuh kita bereaksi seolah-olah ada ancaman fisik yang mendesak, meskipun yang terjadi hanyalah pikiran berulang di kepala.

Inilah mengapa overthinking sering kali disertai gejala fisik yang intens:

  • Jantung berdebar
  • Keringat dingin
  • Otot tegang (terutama di leher dan bahu)
  • Sakit perut atau sensasi "melilit"

Kondisi ini, yang disebut hiper-responsivitas amigdala, telah ditemukan pada individu dengan gangguan kecemasan (Etkin & Wager, 2007) [4]. Amigdala mereka menjadi terlalu sensitif, bahkan terhadap rangsangan yang kecil atau tidak berbahaya, sehingga terus-menerus memicu alarm palsu.

Mengendalikan Otak Reptil yang Bandel

Lalu, bagaimana kita bisa menenangkan otak reptil ini agar tidak panik berlebihan?

  1. Aktivasi Neokorteks (Otak Rasional). Saat amigdala menguasai, satu-satunya cara untuk menenangkannya adalah dengan mengaktifkan bagian otak yang lebih tinggi: neokorteks. Gunakan logika dan pertanyaan seperti: "Apakah ancaman ini nyata dan langsung?" atau "Apa bukti dari pikiran terburuk ini?" Latihan kognitif ini memperkuat jalur saraf yang menghubungkan neokorteks dengan amigdala, memungkinkan rekan PSAK mengendalikan respons emosional (Geddes, 2017) [5].
  2. Sadari dan Namai Emosi. Teknik ini disebut affect labeling. Dengan secara sadar menyebutkan apa yang rekan PSAK rasakan ("Saya cemas," "Saya merasa takut"), rekan PSAK mengaktifkan area di neokorteks yang disebut ventrolateral prefrontal cortex (vlPFC). vlPFC ini berfungsi untuk "menekan" respons amigdala yang berlebihan (Lieberman et al., 2007) [6].
  3. Latihan Relaksasi. Latihan seperti pernapasan diafragma atau meditasi dapat secara langsung menurunkan respons "lawan atau lari". Dengan memperlambat napas, rekan PSAK mengirim sinyal ke sistem saraf untuk keluar dari mode panik (Porges, 2011) [7]. Ini adalah cara tercepat untuk mematikan alarm amigdala.

Memahami bahwa overthinking adalah hasil dari sistem otak purba yang salah menafsirkan sinyal, akan membantu kita mengurangi rasa bersalah dan mulai mengambil langkah-langkah efektif. Rekan PSAK tidak lemah; rekan PSAK hanya perlu melatih otak reptil rekan PSAK untuk mengenali ancaman yang sebenarnya.

Daftar Acuan

MacLean, P. D. (1990). The Triune Brain in Evolution: Role in Paleocerebral Functions. Plenum Press.

LeDoux, J. E. (2012). The Amygdala and Fear. In S. A. G. S. V. S. Ramachandran (Ed.), The Encyclopedia of Human Behavior (pp. 57-65). Elsevier.

Sapolsky, R. M. (2004). Why Zebras Don't Get Ulcers: The Acclaimed Guide to Stress, Stress-Related Diseases, and Coping. Owl Books.

Etkin, A., & Wager, T. D. (2007). "Functional neuroimaging of anxiety: a meta-analysis of emotion regulation". Biological Psychiatry, 62(3), 195-205.

Geddes, L. (2017). The Emotional Brain. The Guardian.

Lieberman, M. D., et al. (2007). "Putting Feelings into Words: Affect Labeling Disrupts Amygdala Activity in Response to Affective Stimuli". Psychological Science, 18(5), 421-428.

Porges, S. W. (2011). The Polyvagal Theory: Neurophysiological Foundations of Emotions, Attachment, Communication, and Self-regulation. W. W. Norton & Company.

Shin, L. M., & Liberzon, I. (2010). "The neurocircuitry of fear, stress, and anxiety disorders". Neuropsychopharmacology, 35(1), 169-191.

Roozendaal, B., et al. (2009). "Glucocorticoids, Stress, and Memory Retrieval". Frontiers in Behavioral Neuroscience, 3, 20.

Arnsten, A. F. (2009). "Stress signalling pathways that impair prefrontal cortex function". Nature Reviews Neuroscience, 10(6), 410-422.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apakah Tidur yang Cukup Justru Membuat Stres Anda Semakin Parah?

  Ilustrasi stress (Pexels.com) Agus Syarifudin Partadiredja Tanuarga Pernahkah Rekan PSAK merasa semakin pusing dan pikiran kalut setelah semalaman suntuk tidak bisa tidur? Atau sebaliknya, saat stres melRekan PSAK, tidur pun jadi barang mahal? Jika ya, Rekan PSAK tidak sendiri. Hubungan antara stres dan kualitas tidur ibarat lingkaran setan yang tak ada habisnya, dan efeknya pada otak kita bisa jauh lebih merusak dari yang kita bayangkan. Kita semua tahu kalau stres itu tidak enak. Jantung berdebar, pikiran berkecamuk, dan rasanya ingin lari dari kenyataan. Di sisi lain, tidur adalah kebutuhan dasar, seperti makan dan minum. Tapi, apa jadinya jika dua hal ini saling memengaruhi dengan cara yang merugikan? Stres Merampas Tidur Rekan PSAK Saat kita stres, tubuh melepaskan hormon-hormon seperti kortisol dan adrenalin. Ini adalah respons alami "lawan atau lari" yang dirancang untuk membantu kita menghadapi ancaman. Namun, jika stres berkepanjangan, kadar hormon ini tetap ...

Otak Rekan PSAK Lelah? Jangan Cuma Istirahat, Coba Reset dengan Tiga Kata Kunci Ajaib Ini!

Ilustrasi sholat yang dapat meredakan stres dan overthinking (Pexels.com)   Agus Syarifudin Partadiredja Tanuarga Pernahkah rekan PSAK merasa lelah secara mental, bukan karena kurang tidur, melainkan karena pikiran yang tak henti-hentinya dipenuhi kecemasan, prasangka buruk, dan keraguan? Rasanya seperti otak rekan PSAK adalah browser yang membuka terlalu banyak tab, dan sekarang ia hang . Sebagai seorang neuropsikolog yang telah mendampingi banyak orang selama lebih dari satu dekade, saya tahu persis bagaimana rasanya. Sering kali, kita mencoba menenangkan diri dengan hiburan, namun otak tetap terasa berat. Solusi yang saya temukan, yang menggabungkan panduan ilmiah dan spiritual, mungkin terdengar kontroversial: Husnuzzan, Sholat, dan Tadarus. Tiga kata kunci ini bukan sekadar ajaran agama, melainkan kunci untuk "me-reset" otak yang lelah. Husnuzzan: Melatih Otak Mengubah Pola Pikir Otak kita memiliki kecenderungan alami untuk negativity bias , yaitu lebih mudah men...

Stres Berkepanjangan Bikin Otak "Rusak Permanen"? Ini Bukan Sekadar Omongan Kosong!

Ilustrasi stress Agus Syarifudin Partadiredja Tanuarga Sering dengar orang bilang stres itu bisa bikin gila? Kedengarannya ekstrem, ya? Tapi kalau kita bicara stres kronis , dampaknya pada kesehatan mental itu jauh lebih serius dari sekadar "perasaan tidak enak." Ini bukan cuma tentang Rekan PSAK jadi gampang marah atau susah tidur semalam dua malam. Stres yang berkepanjangan itu, secara ilmiah, bisa mengubah struktur dan fungsi otak Rekan PSAK, membuka pintu lebar-lebar bagi gangguan seperti kecemasan dan depresi . Ini bukan lagi omong kosong, ini adalah fakta yang diteliti! Di lingkungan kerja yang serba menuntut, dengan deadline yang tak ada habisnya, persaingan ketat, dan ekspektasi yang tinggi, stres seolah sudah jadi bagian dari "paket lengkap." Banyak dari kita menganggapnya normal, "bagian dari pekerjaan." Tapi, apakah kita benar-benar menyadari harga yang harus dibayar oleh otak kita? Dari Stres Biasa Menjadi Racun Otak Kita tahu bahwa ko...