Jangan Salahkan Diri Sendiri, Otak Reptil Rekan PSAK Mungkin yang Bertanggung Jawab Atas Overthinking!
![]() |
Ilustrasi Overthinking (Pexels.com) |
Agus Syarifudin Partadiredja Tanuarga
Pernahkah rekan PSAK merasa jantung berdebar kencang, napas
memburu, seolah ada bahaya besar yang mengancam, padahal rekan PSAK hanya
sedang memikirkan kemungkinan terburuk dari sebuah email?
Jika ya, rekan PSAK tidak sendirian. Sensasi panik dan cemas
berlebihan ini sering kita kaitkan dengan overthinking. Namun, tahukah rekan
PSAK bahwa di balik respons ekstrem ini, ada bagian otak yang sangat primitif
dan purba yang sedang bekerja? Saya menyebutnya "Otak Reptil".
Sebagai ahli neuropsikologi yang telah menelusuri
seluk-beluk pikiran manusia selama lebih dari 10 tahun, saya sering melihat
bagaimana otak primitif kita, terutama amigdala, berperan besar
dalam siklus overthinking. Overthinking bukan sekadar kebiasaan, tetapi bisa
jadi respons bawaan otak yang keliru.
Otak Reptil: Sistem Alarm yang Ketinggalan Zaman
Otak manusia berevolusi dalam tiga lapisan (MacLean, 1990)
[1]:
- Otak
Reptil (Brainstem & Cerebellum): Bagian tertua yang mengendalikan
fungsi dasar bertahan hidup.
- Sistem
Limbik (Amigdala & Hippocampus): Bagian yang mengelola emosi dan
memori. Di sinilah terletak amigdala, pusat alarm otak kita.
- Neokorteks:
Lapisan terluar, pusat pemikiran rasional, bahasa, dan kesadaran.
Amigdala adalah bagian dari otak limbik yang bertanggung
jawab mendeteksi ancaman dan memicu respons "lawan atau lari"
(fight or flight). Saat nenek moyang kita menghadapi predator, amigdala
akan mengirim sinyal darurat, membanjiri tubuh dengan hormon stres seperti kortisol
dan adrenalin (LeDoux, 2012) [2]. Hasilnya? Detak jantung meningkat,
otot menegang, dan indra menjadi lebih peka, semuanya untuk mempersiapkan diri
melawan atau melarikan diri dari bahaya nyata.
Dari Harimau ke Deadline: Miskomunikasi di Otak Modern
Di dunia modern, kita jarang berhadapan dengan harimau.
Namun, otak reptil kita masih berfungsi dengan cara yang sama.
Sayangnya, ia kesulitan membedakan ancaman nyata (misalnya, dikejar anjing)
dengan ancaman imajiner atau psikologis (misalnya, kekhawatiran tentang
pekerjaan, omongan orang lain, atau deadline).
Saat rekan PSAK terjebak dalam overthinking, pikiran rekan
PSAK menciptakan skenario terburuk—sebuah ancaman imajiner. Otak kita,
terutama amigdala, menangkap sinyal ini sebagai bahaya nyata. Ini memicu
respons "lawan atau lari" yang tidak perlu (Sapolsky, 2004) [3].
Tubuh kita bereaksi seolah-olah ada ancaman fisik yang mendesak, meskipun yang
terjadi hanyalah pikiran berulang di kepala.
Inilah mengapa overthinking sering kali disertai gejala
fisik yang intens:
- Jantung
berdebar
- Keringat
dingin
- Otot
tegang (terutama di leher dan bahu)
- Sakit
perut atau sensasi "melilit"
Kondisi ini, yang disebut hiper-responsivitas amigdala,
telah ditemukan pada individu dengan gangguan kecemasan (Etkin & Wager,
2007) [4]. Amigdala mereka menjadi terlalu sensitif, bahkan terhadap rangsangan
yang kecil atau tidak berbahaya, sehingga terus-menerus memicu alarm palsu.
Mengendalikan Otak Reptil yang Bandel
Lalu, bagaimana kita bisa menenangkan otak reptil ini
agar tidak panik berlebihan?
- Aktivasi
Neokorteks (Otak Rasional). Saat amigdala menguasai, satu-satunya cara
untuk menenangkannya adalah dengan mengaktifkan bagian otak yang lebih
tinggi: neokorteks. Gunakan logika dan pertanyaan seperti: "Apakah
ancaman ini nyata dan langsung?" atau "Apa bukti dari pikiran
terburuk ini?" Latihan kognitif ini memperkuat jalur saraf yang
menghubungkan neokorteks dengan amigdala, memungkinkan rekan PSAK
mengendalikan respons emosional (Geddes, 2017) [5].
- Sadari
dan Namai Emosi. Teknik ini disebut affect labeling. Dengan
secara sadar menyebutkan apa yang rekan PSAK rasakan ("Saya
cemas," "Saya merasa takut"), rekan PSAK mengaktifkan area
di neokorteks yang disebut ventrolateral prefrontal cortex (vlPFC).
vlPFC ini berfungsi untuk "menekan" respons amigdala yang
berlebihan (Lieberman et al., 2007) [6].
- Latihan
Relaksasi. Latihan seperti pernapasan diafragma atau meditasi dapat
secara langsung menurunkan respons "lawan atau lari". Dengan
memperlambat napas, rekan PSAK mengirim sinyal ke sistem saraf untuk
keluar dari mode panik (Porges, 2011) [7]. Ini adalah cara tercepat untuk
mematikan alarm amigdala.
Memahami bahwa overthinking adalah hasil dari sistem otak
purba yang salah menafsirkan sinyal, akan membantu kita mengurangi rasa
bersalah dan mulai mengambil langkah-langkah efektif. Rekan PSAK tidak lemah;
rekan PSAK hanya perlu melatih otak reptil rekan PSAK untuk mengenali
ancaman yang sebenarnya.
Daftar Acuan
MacLean, P. D. (1990). The Triune Brain in Evolution:
Role in Paleocerebral Functions. Plenum Press.
LeDoux, J. E. (2012). The Amygdala and Fear. In S. A.
G. S. V. S. Ramachandran (Ed.), The Encyclopedia of Human Behavior (pp.
57-65). Elsevier.
Sapolsky, R. M. (2004). Why Zebras Don't Get Ulcers: The
Acclaimed Guide to Stress, Stress-Related Diseases, and Coping. Owl Books.
Etkin, A., & Wager, T. D. (2007). "Functional
neuroimaging of anxiety: a meta-analysis of emotion regulation". Biological
Psychiatry, 62(3), 195-205.
Geddes, L. (2017). The Emotional Brain. The Guardian.
Lieberman, M. D., et al. (2007). "Putting Feelings into
Words: Affect Labeling Disrupts Amygdala Activity in Response to Affective
Stimuli". Psychological Science, 18(5), 421-428.
Porges, S. W. (2011). The Polyvagal Theory:
Neurophysiological Foundations of Emotions, Attachment, Communication, and
Self-regulation. W. W. Norton & Company.
Shin, L. M., & Liberzon, I. (2010). "The
neurocircuitry of fear, stress, and anxiety disorders". Neuropsychopharmacology,
35(1), 169-191.
Roozendaal, B., et al. (2009). "Glucocorticoids,
Stress, and Memory Retrieval". Frontiers in Behavioral Neuroscience,
3, 20.
Komentar
Posting Komentar