Stres adalah sesuatu yang tak terhindarkan dalam kehidupan kita, terutama di dunia profesional yang penuh tekanan. Namun, tahukah rekan-rekan profesional bahwa stres bisa menjadi senjata makan tuan, merusak kesehatan fisik dan mental kita? Ini bukanlah sekadar omong kosong. Stres yang kronis atau tidak terkendali dapat menghancurkan produktivitas kita , meningkatkan ketidakhadiran, dan bahkan meningkatkan risiko kecelakaan di tempat kerja. Pertanyaannya adalah, bagaimana kita bisa mengatasi ini? Ada satu jawaban yang menarik: Neurosains atau keilmuan saraf serta otak . Melalui pe maham an bagaimana otak kita merespons stres, maka kita bisa mengendalikannya dengan lebih efektif. Ketika rekan-rekan profesional merasakan stress fisik dan psikologis , otak akan melepaskan hormon stres seperti kortisol dan adrenalin. Ini adalah persiapan tubuh kita untuk menghadapi ancaman. Ini adalah rekasi berantai yang dimulai teraktifkannya bagian otak, yaitu amidgala. Organ ini berfungsi menga
Agus Syarifudin
Saat ini stres menjadi permasalahan utama di perkotaan. Bahkan stres yang berujung kepada depresi menjadi permasalahan serius. Tingginya rutinitas pekerjaan, beban tugas sekolah dan perkuliahan serta komplesitas masalah di perkotaan mendorong berbagai hal menjadi pemicu stres.
Jika tidak ditangani dengan baik, maka stres yang berkepanjangan akan mengarah kepada depresi dan gangguan mood. Namun temuan ilmiah terakhir stres juga berkaitan erat dengan fisiologis tubuh dimana dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh atau immune system. Hal ini tidak tertutup kemungkinan menyebabkan penyakit autoimun.
Penyakit autoimun terjadi ketika sistem kekebalan tubuh seseorang mengalami gangguan sehingga menyerang jaringan tubuh itu sendiri. Padahal seharusnya sistem imun hanya menyerang organisme atau zat-zat asing yang membahayakan tubuh. Banyak ditemukan bahwa penyakit autoimun sepert Lupus, sarkoidosis, vitiligo, hipotiroidisme dimana salah satu pemicunya adalah stres yang berkepanjangan.
Perlu digaris bawahi bahwa stres yang berkepanjangan berujung kepada menurunnya sistem imun atau sistem kekebalan tubuh. Stres dapat memacu respon neuroinflammatory. Dapat dijelaskan bahwa neuroinflammatory terkait dengan stres di mana terjadi peradangan atau terjadinya inflammation pada jaringan saraf yang disebabkan karena adanya mekanisme autoimun, dan sekresi metabolit sekunder yang bersifat racun. Hal ini dapat dijelaskan bahwa reseptor glukokortikoid atau hormon yang dihasilkan oleh microgial (sel syaraf yang berkaitan dengan sistem imun di susunan syaraf pusat) diperintahkan untuk menghasilkan zat tersebut. Sementara itu integrasi sinyal di otak dalam bentuk metabolisme di dalam sel, jaringan, dan organ otak difasilitasi oleh otak sehingga sehingga menginduksi sinyal-sinyal ke organ untuk membentuk neuroinflamasi.
Dalam situasi yang penuh tekanan sehingga menyebabkan stres yang berat, jalur neuroendokrin mengubah rangsangan perifer atau saraf tepi dan rangsangan saraf pusat, menyebabkan pembentukan monocyte yaitu salah satu tipe dari sel darah putih yang berfungsi untuk kekebalan tubuh. Di sisi lain hal ini juga menyebabkan terjadinya peradangan atau inflamasi. Pada tahapan berikutnya adalah terjadi perubahan bentuk pada mikrogiral atau sel syaraf yang berkaitan dengan sistem imun di susunan saraf pusat. Pada akhirnya reaksi yang terjadi adalah menghasilkan peradangan pada jaringan saraf. Peradangan pada jaringan syaraf ini dapat berakibat kepada penyakit kejiwaan atau psikiatrik seperti stres, kecemasan, dan depresi.
Berbagai penelitian telah mengamati pengaktivan mikroglia yang dipicu stres terjadi di daerah otak dan sikuit saraf tertentu. Fenomena ini terlibat dalam aktivasi neuroendokrin yang dimediasi oleh stres. Dengan demikian, bukti kuat ada langsung menghubungkan sitokin. Sitokin adalah suatu molekul protein yang dikeluarkan oleh sel ketika diaktifkan oleh antigen. Sitokin terlibat dalam komunikasi sel-sel, bertindak sebagai mediator untuk meningkatkan respon imun atau sistem kekebalan tubuh melalui interaksi dengan reseptor permukaan sel tertentu pada leukosit. Hal ini juga berkaitan dengan atau aktivitas HPA Axis.
HPA axis adalah sistem neuroendokrin (syaraf-hormon) tubuh yang melibatkan hypothalamus (bagian dari otak kecil), kelenjar hormon pituitary, dan kelenjar adrenal (kelenjar yang terletak melekat pada bagian atas ginjal). Sistem komunikasi kompleks ini bertanggungjawab untuk menangani reaksi stres dengan mengatur produksi kortisol, sejenis hormon dan merupakan mediator rangsang syaraf. HPA-axis dalam konsep psikoneuroimmunologi menjelaskan mekanisme sebuah keyakinan dapat mempengaruhi kondisi kesehatan tubuh seseorang. HPA-axis merupakan sebuah jalur kompleks interaksi antara tiga sistem yang terjadi dalam tubuh yang mengatur reaksi terhadap stres dan banyak proses dalam tubuh, termasuk didalamnya proses pencernaan, sistem ketahanan tubuh, mood dan tingkat emosi, gairah seksual, penyimpanan energi dan penggunaannya.
Oleh sebab itu penting untuk dilakukan deteksi dini stres dan depresi sebelum terjadi permasalahan yang komplek seperti penyakit autoimun. Jika mengalami masalah psikologis atau kondisi tekanan dari lingkungan yang berat, segera periksakan diri Anda ke ahli seperti psikolog dan dokter. Salah satu penanda adalah jika Anda mengalami rasa sedih yang berkepanjangan yaitu lebih dari dua minggu serta kesulitan untuk menyelesaikannya. Pemeriksaan dini ini penting untuk mendapatkan alternatif solusi dan intervensi terhadap permasalahan yang dialami sebelum menjadi komplek atau bertambah parah (Ags/Klinik Psikoneurologi Hang Lekiu).
Referensi
Rea, K., Dinan, T.G., Cryan, J.F. (2016). The microbiome: A key regulator of stress and neuroinflammation. Neurobiology of Stress, 4,October 2016; 23-33
Komentar
Posting Komentar