Langsung ke konten utama

Featured post

Stop Bilang Stres Itu Penyakit Mental! Otak Primitif Anda Cuma Panik!

Ilustrasi stres (Pexel.com) Agus Syarifudin Partadiredja Tanuarga Pernah merasa jantung berdebar kencang, tangan dingin, atau napas tersengal-sengal padahal Rekan PSAK cuma dikejar deadline atau berhadapan dengan atasan yang lagi bad mood ? Selamat, Rekan PSAK baru saja merasakan respons fight-or-flight klasik. Tapi jangan langsung cap diri Rekan PSAK punya masalah kecemasan atau "penyakit mental" lainnya. Seringkali, ini bukan tentang kesehatan mental yang rapuh, melainkan karena otak primitif Rekan PSAK sedang dalam mode siaga. Kita sering menganggap stres sebagai momok modern yang identik dengan gaya hidup serba cepat. Tapi sebenarnya, respons stres adalah fitur bawaan yang sudah ada sejak nenek moyang kita harus berhadapan dengan predator ganas di sabana. Ini bukan kelemahan, melainkan sebuah mekanisme bertahan hidup yang luar biasa canggih. Otak Primitif: Alarm Anti-Punah Rekan PSAK Di dalam kepala kita, ada dua bagian otak yang punya peran sangat besar dalam u...

Deteksi Dini Stres dan Depresi

Stres! Itulah yang sering diungkapkan saat pikiran kita kalut atau banyak permasalahan. Namun jika ditelaah lebih lanjut, stres tidak hanya bersifat psikis saja. Stress adalah bentuk ketegangan dari fisik, psikis, emosi maupun mental. Bentuk ketegangan ini mempengaruhi kinerja keseharian seseorang. Bahkan stress dapat membuat produktivitas menurun, rasa sakit dan gangguan-gangguan mental. Oleh karena itu, saat tubuh kita merasakan tekanan dari luar baik fisik, psikis, emosi maupun mental maka tubuh dapat memberikan respon.

Secara umum pemicu stres atau stressor dapat didefinsikan sebagai segala tantangan yang muncul dari dalam atau luar yang mengganggu internal tubuh kita. Tubuh kita akan merespon stressor yang terlibat dalam berbagai mekanisme fisiologi yang dirancang untuk mengembalikan homeostasis. Homeostasis adalah suatu keadaan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dalam menghadapi kondisi yang di alaminya.

Saat stres datang keseimbangan tubuh terganggu akibat respon yang diberikan. Rasa marah, kecemasan, dan lain-lain memicu reaksi kimia dalam neurotransmiter dan hormon di dalam tubuh. Karena prinsip homeostasis inilah, tubuh memiliki mekanisme untuk mengembalikan kekacauan yang terjadi hingga kembali menjadi normal. Apabila mekanisme homestasis tubuh secara internal tidak baik atau tidak mampu mengembalikan kepada keadaan sebelum stress, maka perlu adanya mekanisme dari luar dalam bentuk intervensi baik secara psikologi maupun medis. Hal ini ditujukan agar kondisi tubuh menjadi lebih baik dan meminimalisir kerusakan yang terjadi di dalam jaringan,organ ataupun sistem organ yang bekerja.

Stres, Imun Tubuh, dan Penyakit Kronis
Di sisi lain, stres ternyata berdampak kepada berbagai penyakit kronis. Hal ini terkait dengan hubungan antara sistem susunan saraf pusat (SSP) dan sel-sel imun periferal (sel T) dari organ limfoid. Sistem Limfoid adalah sel-sel sistem imun ditemukan dalam jaringan dan organ. Organ Limfoid primer atau sentral diperlukan untuk pematangan, diferensiasi dan proliferasi sel T dan B sehingga menjadi limfosit yang mengenal antigen. Ada dua organ yang terlibat yaitu kelenjar timus dan Bursa Fabricius (sumsum tulang).

Otak sebagai bagian dari susunan saraf pusat, dapat mengintervensi sistem imun atau kekebalan tubuh. Hal ini terjadi saat stres psikis terjadi menghambat banyak fungsi dari sistem kekebalan tubuh. Oleh karena itu jika tubuh mengalami stres dan otak menangkap sinyal tersebut maka akan mempengaruhi produksi sel imun. Penelitian psikoneuroimunologi menemukan bahwa stres dapat menurunkan kekebalan tubuh bahkan dapat menyebabkan penyakit auto imun. Hal ini terjadi karena sinyal dalam sel dan tubuh yang berfungs untuk memerintahkan pengaktifan sel imun terganggu karena produksi hormon stres.

Stres yang berkepanjangan dan mengarah kepada depresi dapat menyebabkan terjadinya peradangan atau inflamasi pada tubuh. Telah ditemukan bahwa pasien yang mengalami depresi berat (Major Depresive Disorder) di dalam tubuhnya memproduksi biomarker inflamasi dan memicu kerja sistem kekebalan tubuh. Di sisi lain, inflamasi atau peradangan periferal, baik yang sifatnya sedang atau akut, jelas mempengaruhi fungsi otak. Melemahnya tubuh dan terjadinya peradangan pada jaringan, khususnya jaringan saraf dapat disebabkan karena pengaruh usia dan juga stres psikis. Pengaruh tersebut dapat terlihat dari gangguan kelelahan yang terjadi, di mana dapat menjadi penyakit yang sifatnya psikiatrik atau kejiwaan. Stres yang terjadi akan merangsang produksi hormon stres atau kortisol sehingga menghambat kerja imun tubuh.

Studi tentang berbagai penyakit menemumkan bahwa stres secara psikologi dapat memnyebabkan penyakit perdangan kronis, kanker, penyakit kardiovaskulas, infeksi akut dan kronis dari virus (misal HIV, Hepatitis) spesis, asma, dan lainnya. Oleh karena itu penting untuk menjaga kesehatan mental agar penyakit-penyakit ini tidak menyerang karena faktor psikis yang tidak tertangani.

Cegah Penyakit Kronis dengan Mengetahui Tingkatan Stres yang Dialami
Oleh karena itu jangan anggap remeh stres. Uraian di atas menjelaskan bagaimana stres berpengaruh kepada tubuh dan menyebabkan berbagai penyakit dan infeksi kronis. Bagi penduduk perkotaan dengan aktivitas dan mobilitas yang tinggi rentan terhadap stres. Berbagai tuntutan fisik dan sosial yang terjadi di perkotaan seringkali tidak dimbangi dengan kemampuan untuk memenuhinya. Hal ini seringkali mengakibatkan frustasi yang berujung kepada stres dan depresi.

Permasalahan gaya hidup di perkotaan juga rawan terhadap pencegahan stres,depresi sistem kekebalan tubuh. Pola makan yang buruk, kurangnya olah raga, dan pola tidur yang tidak cukup adalah faktor yang dapat memperburuk kondisi tubuh jika stres menyerang. Asupan nutrisi yang tidak seimbang serta rutinitas yang mengganggu jam biologis tubuh rentan memicu stres secara fisik yang ditandai oleh kelelahan tubuh.

Deteksi dini stres dan depresi berdasarkan uraian di atas sudah menjadi keharusan. Hal ini perlu dilakukan khususnya bagi penduduk perkotaan dengan tingkat stres yang tinggi. Tingginya aktivitas, rutinitas, dan mobilitas penduduk perkotaan dapat memicu stres baik fisik maupun psikis. Hal ini tidak hanya terjadi pada pekerja atau orang dewasa saja, namun juga dapat terjadi pada anak dan remaja yang bersekolah.

Oleh karena itu deteksi dini stres melalui serangkaian tes psikologi dan neurobiologi dapat mengukur kondisi individu dengan akurat. Tes ini akan melihat bagaimana kondisi internal individu. Tes Psikologi bertujuan melihat faktor kepribadian, keadaan mental, atau kejiwaan seseorang dapat menahan stres yang terjadi. Sejauh mana stres yang dialami telah mempengaruhi kondisi mental, seperti regulasi emosi, pola pikir, dan bagaimana individu melihat dunia sekitarnya. Tes neurobiologi dilakukan dengan pengukuran EEG. Test ini ditujukan untuk melihat kondisi neurotransmiter dan aktivitas dari bagian-bagian otak individu yang terpengaruh karena stres.

Hasil tes yang dilakukan dapat dijadikan acuan intervensi ataupun tindakan lanjut dari permasalahan yang dialami. Berbagai macam intervensi dapat dilakukan untuk individu yang mengalami stres. Intervensi tersebut dapat berupa secara psikologis maupun medis. Terapi CBT, Terapi Mindfulness, Terapi Akupuntur Laser Weber, dan Terapi Obat dapat menjadi pilihan alternatif dari permasalahan ini. Terapi ini penting dilakukan agar permasalahan stres yang terjadi tidak berkembang menjadi masalah kronis seperti penyakit kanker, kardiovaskular (jantung), infeksi virus akut dan lainnya (Ags/Klinik Psikonerologi Hang Lekiu).



Referensi

Straub, R.H. & Cutolo, M. (2018). Psychoneuroimmunology-developments in stress research. Wien Med Wochenschr. 2018 Mar;168(3-4):76-84. doi: 10.1007/s10354-017-0574-2. Epub 2017 Jun 9.

Won, E. & Kim, Y. (2016). Stress, the autonomic nervous system, and the immune-kynurenine pathway in the etiology of depression. Current Neuropharmacology, 2016, 14, 665-673

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Tanda Kamu Mengalami Stres Berkepanjangan Tapi Tidak Sadar: Waspadai Bahayanya bagi Otak, Emosi, dan Iman

Ilustrasi stres yang tidak disadari Banyak dari kita berpikir stres hanya terjadi saat menghadapi masalah besar. Padahal, stres juga bisa datang diam-diam—menumpuk perlahan dalam rutinitas, tanpa kita sadari. Inilah yang disebut sebagai stres kronis tersembunyi . Ia bisa berdampak pada kesehatan fisik, mental, bahkan spiritual kita, bila tidak ditangani dengan tepat. Stres kronis terjadi ketika tubuh dan pikiran terus-menerus dalam kondisi "siaga". Dalam jangka panjang, hal ini bisa mengganggu fungsi otak, merusak sistem saraf, dan melemahkan daya tahan tubuh. Yang lebih serius, stres juga bisa menjauhkan kita dari rasa tenang dan keikhlasan dalam beribadah. Berikut adalah 5 tanda kamu mungkin sedang mengalami stres berkepanjangan tanpa disadari : 1. Merasa Lelah Meski Sudah Tidur Cukup Tidur 7–8 jam semalam, tapi tetap merasa lelah saat bangun? Ini bisa jadi pertanda tubuhmu tidak benar-benar istirahat. Stres membuat kualitas tidur menurun, meski durasinya cukup. Aki...

Kenali Ciri Gangguan Belajar Anak: Waspadai dan Tangani Sejak Usia Sekolah Dasar!

Saat buah hati berusia sekolah dasar, maka mereka seharusnya memiliki kemampuan belajar yang baik.   Kesiapan belajar ini dipersiapkan di usia taman kanak-kanak.   Namun demikian perkembangan otak dan mental anak untuk siap belajar adalah pada umumnya berada di usia 8 tahun ke atas.   Sobat PSAK, sebelum kita membahas kesulitan belajar atau disebut juga gangguan belajar, mari kita dalami apa itu kegiatan belajar. Dalam bahasa Inggris terminologi ini dikenal dengan learning disablity . Namun untuk diagnosa dari masalah ini pada siswa dikenakan istilah learning disorder atau gangguan belajar. Sekilas kegiatan belajar bersifat sederhana dan sepele.  Belajar adalah kegiatan perolehan informasi baru, perilaku, atau kemampuan setelah latihan, pengamatan, atau pengalaman lain.  Kegiatan ini kemudian dibuktikan dengan perubahan dalam perilaku, pengetahuan, atau fungsi otak.  Berdasarkan uraian di atas, maka prinsip dari anak belajar adalah adanya perubahan p...

Dari Otak Primitif ke Otak Kolaboratif: Mengapa Kita Terlahir untuk Bekerja Sama?

Kini saatnya untuk bekerjasama meski dalam persaiangan. Kolaborasi adalah keniscayaan untuk mencapai kemajuan Sobat PSAK, pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa manusia memiliki naluri untuk bekerja sama? Jawabannya terletak pada evolusi dan sains di balik otak kita. Evolusi dan Naluri Kolaborasi Manusia adalah makhluk sosial yang berevolusi untuk hidup dan berburu dalam kelompok. Kemampuan kita untuk bekerja sama dan berkomunikasi dengan satu sama lain sangat penting untuk kelangsungan hidup kita. Bukti arkeologi menunjukkan bahwa manusia telah bekerja sama dalam kelompok besar selama ratusan ribu tahun. Otak Kolaboratif: Rahasia di Balik Kerjasama Otak manusia memiliki beberapa fitur yang membuatnya sangat cocok untuk kolaborasi. Berikut beberapa contohnya: Mirror Neuron. Sel saraf khusus ini aktif saat kita melihat orang lain melakukan suatu tindakan, seperti tersenyum atau meniru gerakan. Mirror neuron membantu kita untuk memahami dan meniru orang lain, y...