Langsung ke konten utama

Featured post

Stop Bilang Stres Itu Penyakit Mental! Otak Primitif Anda Cuma Panik!

Ilustrasi stres (Pexel.com) Agus Syarifudin Partadiredja Tanuarga Pernah merasa jantung berdebar kencang, tangan dingin, atau napas tersengal-sengal padahal Rekan PSAK cuma dikejar deadline atau berhadapan dengan atasan yang lagi bad mood ? Selamat, Rekan PSAK baru saja merasakan respons fight-or-flight klasik. Tapi jangan langsung cap diri Rekan PSAK punya masalah kecemasan atau "penyakit mental" lainnya. Seringkali, ini bukan tentang kesehatan mental yang rapuh, melainkan karena otak primitif Rekan PSAK sedang dalam mode siaga. Kita sering menganggap stres sebagai momok modern yang identik dengan gaya hidup serba cepat. Tapi sebenarnya, respons stres adalah fitur bawaan yang sudah ada sejak nenek moyang kita harus berhadapan dengan predator ganas di sabana. Ini bukan kelemahan, melainkan sebuah mekanisme bertahan hidup yang luar biasa canggih. Otak Primitif: Alarm Anti-Punah Rekan PSAK Di dalam kepala kita, ada dua bagian otak yang punya peran sangat besar dalam u...

DETEKSI DINI STRES DIRI AKIBAT PANDEMI CORONA


“Gue stres! Diem di rumah, ngadepin tembok, tembok, dan tembok lagi!”

“Pengen keluar rumah, makan bakso di tukang bakso langganan yang enak dan ketawa ketiwi bareng temen kantor, tapi nggak bisa. Sedih!”

“Bosen di rumah, tugas sekolah anak numpuk dan tiap hari harus setor tugas. Emang di rumah gak masak, ngeladenin suami, sama bebenah rumah apa?”

“Pemasukan berkurang. Pelanggan pada ngendon di rumah, gak keluar rumah pada takut. Padahal listrik harus dibayar, makanan harus dibeli, dan popok anak juga harus dibeli.  Duit makin berkurang. Gimana ini?

Ya, itulah beberapa keluhan dari observasi yang Pusat Studi dan Aplikasi Keilmuan lakukan terkait pembatasan gerak manusia akibat pandemi Corona. Work for Home dan Shool for Home yang  diterapkan oleh pemerintah dan juga instansi swasta untuk meredam penyebaran virus corona kini hampir memasuki bulan kedua.  Di sisi lain rekayasa sosial dalam bentuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSSB) yang diberlakukan beberapa pemerintah daerah pun diharapkan dapat menekan laju penularan dari virus ini.  Ungkapan dan jeritan hati masyarakat di atas mengindikasikan adanya kecemasan, kegelisahan, dan ketakutan yang dapat berujung kepada meningkatnya tingkat stres pada individu lho!

Dampak dari kebijakan ini ternyata memiliki efek domino yang besar hingga mampu menggerogoti sendi-sendi psikologi, ekonomi, dan sosial dari individu dan masyarakat. Hal utama yang menjadi perhatian kita di sini adalah bagaimana gerak dan lintas manusia mulai dibatasi untuk meredam penyebaran virus corona.  Di sisi lain, pergerakan manusia di muka bumi ini adalah untuk memenuhi berbagai kebutuhan baik sifatnya rohani dan fisik.  Sehingga pembatasan yang dilakukan ini berdampak hebat kepada kehidupan individu dan masyarakat karena pemenuhan kebutuhannya terganggu. Duh, buah simalakama ya..makan mati,  klo gak makan mati juga kelaparan. Padahal 
tinggal buah itu yang ada di depan mata. Sedih!

Dampak Pandemi Kepada Individu


Kebutuhan ekonomi dan sosial pasti terdampak dengan pembatasan gerak ini.  Bagaimana manusia dibatasi untuk berkumpul untuk mencari nafkah dan bersosialisasi.  Hal ini menimbulkan pemenuhan kebutuhan tersebut menjadi berkurang.  Kekurangan pemenuhan kebutuhan ini menyebabkan manusia menjadi gelisah, cemas, takut dan terancam atas keberlangsungan hidupnya. Hal ini pun berdampak kepada kestabilan dari kondisi rohani atau psikologis.

Kebutuhan psikologi terkait bagaimana terpenuhinya kebutuhan ruh atau psyche dari manusia lho!  Seperti spiritualisme, relaksasi, keindahan, dan segala sesuatu yang mampu membuat manusia menjadi bahagia.  Siapa sih yang nggak pengen untuk bahagia.  Pasti kita semua akan melakukan berbagai cara untuk bahagia.

Pemenuhan kebahagiaan ini terjadi dengan hasil interaksi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain lho! Jadi manusa nggak bisa sendiri, karena memang manusia itu adalah mahluk sosial. Kekosongan pemenuhan kebutuhan ruh ini menyebabkan manusia menjadi goncang secara kejiwaan.  Ada kegelisahan, kecemasan, dan ketakutan yang menyertai individu terkait pembatasan gerak ini.  Seakan tubuh terpenjara, namun kondisinya masih bebas.  Hal inilah yang menyebabkan terjadinya stres secara kejiwaan atau psikologis. Serem ya! Bebas, nggak dimasukkan ke Lembaga Pemsyarakatan, tapi gerak dan lintas kita dibatasi. Nggak boleh begini, nggak boleh begitu, kaya negara komunis aja.  Padahal sebelumnya bebas mau ngapain aja. Dilema oh dilema..

Definisi Stres dan Pengkuran Stres


Menurut para ahli, stres secara konteks kedokteran dan biologis adalah faktor fisik, mental atau kejiwaan, dan emosi yang menyebabkan tekanan kepada tubuh dan kejiwaan.  Stres dapat disebabkan dari luar seperti lingkungan, faktor psikologis (pikiran, perasaan, dan perilaku) atau secara internal seperti sakit, atau prosedur dari medis. Stres dapat diinisiasikan dengan respon “fight or flight (melawan atau membiarkan, yaitu  sebuah reaksi komplek dari sistem neurologi (sistem biologis saraf dan otak) serta sistem hormonal atau endokrinologi.

Eh, nanti dulu, jangan sembarangan memberikan label dan keputusan kita itu stres atau nggak lho! Terkait hal ini, individu memerlukan informasi yang akurat sejauhmana dirinya telah mengalami stres.  Informasi gejala stres ini dapat diperoleh dari internet atau para ahli, namun juga perlu dilakukan konfirmasi dengan pengukuran yang akurat terkait dengan tingkatan stres yang dialami. 

Hal ini penting, karena jika ambang stres sudah terlewati, maka perilaku individu dapat menjadi menabrak aturan di keluarga atau masyarakat dan bertindak yang merugikan diri sendiri atau orang lain. Sebelum hal ini terjadi, perlu lho kita tahu sudah sejauh mana stres yang terjadi. 

Terlebih di saat tubuh, pikiran, perasaan, serta perilaku kita terasa tidak nyaman lho.  Selain itu ada hal-hal yang membuat orang di sekitar kita tersakiti atau menjadi sedih akibat perilaku kita. Nah lho! Jadi pengukuran secara akurat adalah hal yang penting dan tidak dapat dianggap remeh.  Hasil pengukuran ini akan dapat ditindaklanjuti, seperti hal apa saja yang perlu diperbaiki, dipertahankan, bahkan ditingkatkan agar tingkat stres yang terjadi menurun atau kembali menjadi normal baik secara fisik dan rohani.

Jadi, perlu lho dilakukan pengukuran yang ajeg dan teruji secara ilmiah melalui alat ukur biologis dan psikologis untuk melihat sejauhmana tingkat stres yang terjadi.  Alat ukur biologis adalah dengan melihat kadar hormon stres yaitu kortisol dalam darah atau dari ludah terkait kondisi biologis tubuh dalam merespon stres.  Pengukuran ini akan mengkonfirmasi bahwa tubuh individu telah mengalami stres secara biologis yang terdampak pada terganggunya metabolisme tubuh.  

Sedangkan alat ukur psikologi adalah mengukur sejauhmana stres yang terjadi berdampak kepada pengolahan pikiran, perasaan, dan perilaku dari individu.  Bagaimana stres berdampak terhadap tata kelola diri atau self-regulation secara keseluruhan.  Yaitu bagaimana otak sebagai fungsi luhur dan pengendali sistem organ lainnya terpengaruh dalam koordinasi dari tata kelola pikiran, perasaan, dan perilaku.  Alat ukur psikologi ini adalah berupa alat ukur perilaku berupa kuesioner atau lembar tanya jawab. 

Semua alat ukur baik biologis dan psikologis yang digunakan untuk deteksi stres harus memiliki validitas dan reliabilitas yang teruji dan telah diteliti oleh ilmuwan sebelum dilepas ke masyarakat atau klien.  Jadi gak sembarangan buatnya ya cuy! Para ilmuwan membuat alat tersebut yaitu bagaimana mampu mengukur apa yang hendak diukur dan mengukur secara akurat.  Selain itu, yang membaca hasil pengetesan tersebut adalah ahli yang memang memiliki kewenangan terkait kode etik profesinya juga lho!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Tanda Kamu Mengalami Stres Berkepanjangan Tapi Tidak Sadar: Waspadai Bahayanya bagi Otak, Emosi, dan Iman

Ilustrasi stres yang tidak disadari Banyak dari kita berpikir stres hanya terjadi saat menghadapi masalah besar. Padahal, stres juga bisa datang diam-diam—menumpuk perlahan dalam rutinitas, tanpa kita sadari. Inilah yang disebut sebagai stres kronis tersembunyi . Ia bisa berdampak pada kesehatan fisik, mental, bahkan spiritual kita, bila tidak ditangani dengan tepat. Stres kronis terjadi ketika tubuh dan pikiran terus-menerus dalam kondisi "siaga". Dalam jangka panjang, hal ini bisa mengganggu fungsi otak, merusak sistem saraf, dan melemahkan daya tahan tubuh. Yang lebih serius, stres juga bisa menjauhkan kita dari rasa tenang dan keikhlasan dalam beribadah. Berikut adalah 5 tanda kamu mungkin sedang mengalami stres berkepanjangan tanpa disadari : 1. Merasa Lelah Meski Sudah Tidur Cukup Tidur 7–8 jam semalam, tapi tetap merasa lelah saat bangun? Ini bisa jadi pertanda tubuhmu tidak benar-benar istirahat. Stres membuat kualitas tidur menurun, meski durasinya cukup. Aki...

Kenali Ciri Gangguan Belajar Anak: Waspadai dan Tangani Sejak Usia Sekolah Dasar!

Saat buah hati berusia sekolah dasar, maka mereka seharusnya memiliki kemampuan belajar yang baik.   Kesiapan belajar ini dipersiapkan di usia taman kanak-kanak.   Namun demikian perkembangan otak dan mental anak untuk siap belajar adalah pada umumnya berada di usia 8 tahun ke atas.   Sobat PSAK, sebelum kita membahas kesulitan belajar atau disebut juga gangguan belajar, mari kita dalami apa itu kegiatan belajar. Dalam bahasa Inggris terminologi ini dikenal dengan learning disablity . Namun untuk diagnosa dari masalah ini pada siswa dikenakan istilah learning disorder atau gangguan belajar. Sekilas kegiatan belajar bersifat sederhana dan sepele.  Belajar adalah kegiatan perolehan informasi baru, perilaku, atau kemampuan setelah latihan, pengamatan, atau pengalaman lain.  Kegiatan ini kemudian dibuktikan dengan perubahan dalam perilaku, pengetahuan, atau fungsi otak.  Berdasarkan uraian di atas, maka prinsip dari anak belajar adalah adanya perubahan p...

Dari Otak Primitif ke Otak Kolaboratif: Mengapa Kita Terlahir untuk Bekerja Sama?

Kini saatnya untuk bekerjasama meski dalam persaiangan. Kolaborasi adalah keniscayaan untuk mencapai kemajuan Sobat PSAK, pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa manusia memiliki naluri untuk bekerja sama? Jawabannya terletak pada evolusi dan sains di balik otak kita. Evolusi dan Naluri Kolaborasi Manusia adalah makhluk sosial yang berevolusi untuk hidup dan berburu dalam kelompok. Kemampuan kita untuk bekerja sama dan berkomunikasi dengan satu sama lain sangat penting untuk kelangsungan hidup kita. Bukti arkeologi menunjukkan bahwa manusia telah bekerja sama dalam kelompok besar selama ratusan ribu tahun. Otak Kolaboratif: Rahasia di Balik Kerjasama Otak manusia memiliki beberapa fitur yang membuatnya sangat cocok untuk kolaborasi. Berikut beberapa contohnya: Mirror Neuron. Sel saraf khusus ini aktif saat kita melihat orang lain melakukan suatu tindakan, seperti tersenyum atau meniru gerakan. Mirror neuron membantu kita untuk memahami dan meniru orang lain, y...