Langsung ke konten utama

Featured post

Stop Bilang Stres Itu Penyakit Mental! Otak Primitif Anda Cuma Panik!

Ilustrasi stres (Pexel.com) Agus Syarifudin Partadiredja Tanuarga Pernah merasa jantung berdebar kencang, tangan dingin, atau napas tersengal-sengal padahal Rekan PSAK cuma dikejar deadline atau berhadapan dengan atasan yang lagi bad mood ? Selamat, Rekan PSAK baru saja merasakan respons fight-or-flight klasik. Tapi jangan langsung cap diri Rekan PSAK punya masalah kecemasan atau "penyakit mental" lainnya. Seringkali, ini bukan tentang kesehatan mental yang rapuh, melainkan karena otak primitif Rekan PSAK sedang dalam mode siaga. Kita sering menganggap stres sebagai momok modern yang identik dengan gaya hidup serba cepat. Tapi sebenarnya, respons stres adalah fitur bawaan yang sudah ada sejak nenek moyang kita harus berhadapan dengan predator ganas di sabana. Ini bukan kelemahan, melainkan sebuah mekanisme bertahan hidup yang luar biasa canggih. Otak Primitif: Alarm Anti-Punah Rekan PSAK Di dalam kepala kita, ada dua bagian otak yang punya peran sangat besar dalam u...

REMAJA, UJIAN SEKOLAH, STRES DAN KECEMASAN


Agus Syarifudin




Ilustrasi siswa tingkat akhir alami kecemasan karena menghadapi ujian akhir sekolah (sumber gambar https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4457488/benarkah-anak-ipa-lebih-stres-dari-anak-ips-ini-kata-psikolog) 


1. Definisi Remaja

Kata “remaja” berasal dari bahasa Latin adolescene berarti to grow atau to grow maturity (Golinko, 1984, Rice, 1990 dalam Jahja, 2011 dikutipdalam Putro, 2017). Banyak tokoh yang memberikan definisi remaja, seperti DeBrun mendefinisikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa kanakkanak dan dewasa. Papalia dan Olds (dikutip dalam Putro, 2017) tidak memberikan pengertian remaja secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence). 

Menurut Papalia dan Olds, (dikutip dalam Putro, 2017) masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluh tahun. Sedangkan Anna Freud (dikutip dalam Putro, 2017) berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, di mana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan (Putro, 2017). 

Di sisi lain, remaja yang bersekolah tingkat akhir di satuan pendidikan formal serta di daerah perkotaaan rentan terhadap stres dan kecemasan. DKI Jakarta sebagai daerah urban perkotaan memiliki komplesitas yang tinggi, terlebih bagi penduduknya. Karena DKI Jakarta sebagai ibukota negara dan pusat bisnis. Hal ini menjadikan DKI Jakarta menjadi pusat destinasi dalam urbanisasi dengan persaingan yang tinggi. Berbagai individu dan atau keluarga berjuang dan saling berkompetisi dalam mencari kesempatan dan mengambil perluang yang tersedia di berbagai bidang, khususnya di bidang pendidikan. Pemerintah pusat dan provinsi daerah DKI Jakarta pun telah melakukan terobosan dalam hal subsidi. Hal ini menyebabkan ketertarikan warga terhadap institusi pendidikan formal negeri menjadi tinggi, namun ada keterbatasan dalam penyediaan jumlah siswa yang diterima dari peminat yang begitut tinggi. 

Akibat dari persaingan ini maka remaja yang menjadi siswa di tingkat akhir pada satuan pendidikan formal negeri di SMA sederajat harus berjuang mempertahankan dan menaikkan nilainya agar dapat melanjutkan ke tingkatan yang lebih tinggi dengan kualitas bagus. Di sisi lain, banyak fasilitas pendidikan negeri dan swasta di Indonesia meminta nilai yang tinggi sebagai seleksi masuk siswa dan mahasiswa baru untuk jurusan favorit. Sedangkan kapasitas mereka terbatas terkait fasilitas dan juga sumber daya manusia pendidiknya. Hal ini menyebabkan terjadinya persaingan dalam seleksi siswa dan mahasiswa di satuan pendidikan menengah dan tinggi. Oleh karena itu, remaja di DKI Jakarta dari tingkatan SMA harus mempersiapkan diri dengan baik dalam segala keterbatasan yang ada. Hal inilah yang dapat memicu terjadinya stres dan kecemasan, terlebih terkait dengan ujian akhir sekolah berstandar nasional dan ujian nasional serta ujian seleksi masuk perguruan tinggi

2. Remaja, Ujian Sekolah, Stres dan Kecemasan.


Siswa saat UNBK (ujian Nasional Berbasis Komputer) memiliki kecemasan tinggi karena menentukan masa depan mereka di tingkatan universitas (sumber gambar https://www.jawapos.com/nasional/pendidikan/13/06/2017/terlalu-lama-di-sekolah-anak-terjebak-stres-hingga-kenakalan-remaja/) 

Penelitian terkait siswa kelas akhir di tingkatan SMA telah dilakukan di Indonesia oleh Walasary, Dundu, dan Kaunang (2015). Ujian nasional bertujuan untuk menilai dan mengukur kompetensi peserta didik secara nasional dilaksanakan setelah mengikuti pembelajaran yang diberikan para guru pada pendidikan formal. Salah satu isu yang marak diperbincangkan ialah kekhawatiran tentang kemungkinan banyaknya siswa yang tidak lulus, hal ini akan memicu kecemasan siswa (Walasary, Dundu, & Kaunang, 2015).. 

Penelitian Walasary, Dundu, dan Kaunang (2015) bertujuan untuk mengetahui tingkat kecemasan siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Ambon dalam menghadapi ujian nasional. Penelitian tersebut bersifat deskriptif dengan desain potong lintang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner data sosiodemografik dan Hamilton anxiety rating scale (HARS). Sebagian besar responden berada pada kategori kecemasan tingkat ringan (51,3%) dan sedang (40%) dalam menghadapi ujian nasional. Kecemasan paling banyak dialami kelompok umur 17 tahun dan jenis kelamin perempuan.

Psikolog Hellen Damayanti mengatakan, berdasarkan hasil survei menyebutkan 44 persen pelajar merasa stress menghadapi ujian dan tugas (Maharani, 2015). Menurut Hellen Damayamti (Maharani, 2015) tingkat stress remaja menjelang ujian nasional sangat tinggi, sedangkan 12 persen diliputi kegalauan akibat rasa takut tidak naik kelas. Faktor lain yang menyebabkan stres ya yakni karena para pelajar merasa bingung mencari sekolah lanjutan atau pindah ke sekolah yang dinilainya tepat.

Menurut Schwartz (2000: 139 dikutip dari Annisa & Ifdil, 2016) kecemasan berasal dari kata Latin anxius, yang berarti penyempitan atau pencekikan. Hal ini mengambarkan kecemasan mirip dengan rasa takut tapi dengan fokus kurang spesifik. Sedangkan ketakutan biasanya respon terhadap beberapa ancaman langsung, sedangkan kecemasan ditandai oleh kekhawatiran tentang bahaya tidak terduga yang terletak di masa depan. Kecemasan merupakan keadaan emosional negatif yang ditandai dengan adanya firasat dan somatik ketegangan, seperti hati berdetak kencang, berkeringat, kesulitan bernapas (Annisa & Ifdil, 2016). 

Nevid, et al. (2005) menjelaskan bahwa kecemasan adalah keadaan emosional yang bercirikan keterangsangan fisiologis, ketegangan yang tidak menyenangkan, dan kegelisahan terhadap sesuatu yang buruk akan terjadi. Stuart (2006) mendeskripsikan kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas, menyebar dan berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan ketidakberdayaan. Berdasarkan teori di atas, secara umum menurut Annisa dan Ifdil (2016) mendefinikan kecemasan adalah kecemasan adalah kondisi emosi dengan timbulnya rasa tidak nyaman pada diri seseorang, dan merupakan pengalaman yang samar-samar disertai dengan perasaan yang tidak berdaya serta tidak menentu yang disebabkan oleh suatu hal yang belum jelas.

Jumlah remaja di DKI Jakarta dalam satuan pendidikan formal di tingkatan SMA tingkat akhir rentan terhadap stres dan kecemasan. Secara umum, kepadatan penduduk di DKI Jakarta mencapai 15.663 jiwa per km persegi. Di mana luas wilayah DKI Jakarta 662,3 km persegi dengan jumlah penduduk mencapai 10,37 juta jiwa (Kusnandar, 2016). Jumlah siswa remaja di DKI Jakarta untuk tingkat SMA adalah 558.000 siswa, sedangkan SMK adalah 580.000 siswa, dengan total siswa dari SD sederajat hingga SMA dan SMK adalah 5.360.000 siswa yang tercatat di satuan pendidikan formal (Pusat Data Dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan 2019). 

Bagi siswa SMA sederajat mereka yang mampu dari sisi akademis dan atau adanya kemampuan ekonomi, mereka memiliki motivasi untuk berkuliah bahkan dituntut oleh orangtuanya dibandingkan untuk bekerja. Oleh karena itu mereka berharap untuk dapat melanjutkan ke tingkatan yang lebih tinggi dengan biaya yang rendah dan berkualitas. Hal ini dapat dipenuhi dengan lolos dan diterima di satuan pendidikan negeri yang jumlah dan kapasitas penerimaan mahasiswanya terbatas. Berdasarkan datadari Kelembagaan Riset Dikti (2019), jumlah perguruan tinggi dengan jenis akademi adalah 88 lembaga, universitas 75 lembaga, politeknik 99 lembaga, akademi komunitas, 3 lembaga, institut 33 lembaga dan sekolah tinggi 76 lembaga, dengan total keseluruhan adalah 372 lembaga. 

Namun demikian satuan pendidikan ini mematok hasil seleksi yang ketat dan menyebabkan terjadinya persaiangan antar sesama siswa melalui hasil ujian sekolah berstandar nasional, ujian nasional, dan ujian seleksi masuk perguruan tinggi. Persaingan ini cederung memicu stres dan kecemasan yang terjadi pada siswa. 

Di sisi lain tingkat kecemasan dan stres yang terjadi dapat menjadi komplek akibat adanya relasi sosial dan sistem kemasyarakatan di mana remaja tinggal. Hal ini dapat menumpuk dan menjadi komplek. Oleh karena itu tingkat stres dan kecemasan dari masing-masing individu remaja dapat berbeda-beda. Hal ini tergantung tata kelola diri dalam hal olah pikiran, perasaan dan perilaku dari individu remaja. 

3. Pelatihan Penurunan Stres dan Kecemasan pada Remaja terkait Ujian Sekolah

Tata kelola diri atau sering disebut dengan self-regulation dari siswa SMA tingktan akhir adalah penting dalam kesuksesan pencapaian hasil pendidikannya. Siswa yang mammpu mengelola stres dan kecemasan dengan baik hingga levelnya menjadi rendah tentu memiliki hasil pencaipaian akademis yang berberda dengan siswa yang stres dan pencemas. 

Tata kelola diri perilaku ini adalah puncak dari manifestasi kerja dan fungsi otak tang terlihat dan berbentuk perilaku. Hal ini adalah hasil pengendalian pola pikir, olah perasaan, dan olah perilaku yang mumpuni. Terkait dengan stres dan kecemasan ujian akhir sekolah, meskipun stres dan cemas tinggi, remaja dengan self-regulation mumpunu tetap mampu berperilaku normatif dan produktif. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya pencapaian nilai akademis di mata pelajaran yang diujikan. Pencapaian ini bukanlah hasil dari kerja satu malam. Namun dari pelatihan fungsi otak yang dilakukan oleh remaja terkait selama di kelas akhir tingkat SMA. 

Selain itu juga hal ini didukung dengan kondisi lingkungan keluarga yang baik, dimana mampu meredam kecemasan dan stres dari remaja dan mengelolanya kepada kegiatan yang produktif. Namun demikian, peran individu remaja sebagai entitas pribadi di dalam entitas sosial keluarga dan sekolah adalah yang utama. Bagaimana mereka mampu memiliki daya tahan stres dan kecemasan yang super dalam mengelola semua impuls atau rangsangan yang sifatnya merusak diri namun mampu diolah mnjadi hal yang postif dan berwujud tingginya nilai akademis. Hal ini memerlukan keterampilan yang mumpuni dari siswa. Dan hal tersebut dapat merupakan hasil karakter remaja, pelatihan dan bimbingan orang tua di rumah, ataupun bimbingan dari guru di sekolah. Namun tidak semua individu remaja memiliki kesempatan dan peluang untuk mendapatkan hal di atas sehingga mereka terdidik untuk mampu menangani stres dan kecemasan yang tinggi terkait dengan ujian sekolah. 

Terkait hal ini, Pusat Studi dan Aplikasi Kelimuan mengadakan pelatihan ekslufif bagi remaja yang sedang menghadapi ujian akhir sekolah. Pelatihan ini adalah mengoptimalkan fungsi otak terkait olah pola pikir, perasaan, dan perilaku yang mumpuni perlu dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan disesuaikan dengan kondisi indvidunya. Oleh karena itu diharapkan remaha yang hebat dari hasil pelatihan ini adalah yang mampu mengenali kelebihan dan kekurangan terkait ujian sekolah. Kemudian remaja mengelola hal tersebut dalam bentuk pelatihan seperti sugesti atau self-talk yang membangun pola pikir, olah perasaan, dan perilaku kepada pribadi remaja terkait. Keberhasilan dalam pencapaian nilai akademis yang diujikan adalah hasil proses pelatihan ini baik dilakukan oleh pribadi remaja yang mampu mengelola diri dengan baik, meskipun lingkungan di sekitarnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya. Namun demikian perlu adanya kerjasama dari berbagai pihak, yaitu remaja, orang tua, dan guru di sekolah terkait pencapaian akademis yang tinggi. Terkait pelatihan ini, faktor psikologis remaja adalah yang dikendalikan atau dikontrol Karena bagaimapun juga faktor lingkungan yaitu keluarga dan sekolah sulit dikendalikan terkait kompleksitas dan dinamika yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. 

Pusat Studi dan Aplikasi Keilmuan mengembangkan pengukuran serta pelatihan olah pikir perasaan, perilaku terkait stres dan kecemasan bagi remaja tingkat akhir SMA. Pengkuran ini berupa pengukuran psikologis untuk melihat sejauh mana stres dan kecemasan yang dialami, kemudian dikaitkan dengan pola pikir, perasaan, dan perilaku remaja. Jika remaja mengalami tingkat stres dan kecemasan yang tinggi, dapat ditindaklanjuti dengan pelatihan pola pikir, olah perasaan, dan perilaku yang mumpuni dan menghasilkan perilaku yang normatif serta produktif dalam rangka pencapaian nilai akademis ujian yang tinggi. Tata kelola pikiran, perasaan atau emosi, serta perilaku perlu dilakukan bagi remaja karena di sisi lain mereka juga sedang mnghadapi pubertas di mana faktor hormonal yang dimanis juga mempengaruhi dalam berpikir, olah emosii atau perasaan, dan eksekusi perilaku di lingkunga. Pelatihan ini dapat dilakukan dalam seminggu sekali dalam durasi selama 2,5 – 3 jam dengan metode meditasi dan mindfulness berbasiskan terapi kognitif. Untuk informasi dan keterangan lebih lanjut dari pelatihan ini dapat menghubungi sdr. Agus (08561785391 WA/SMS/Telp)

Referensi
Annisa, D.F., & Ifdil. 2016. Konsep kecemasan (Anxiety) pada lanjut usia (lansia). Konselor, 5(2), Juni 2016: 93-99.

Direktorat Jendral IPTEK & DIKTI. (2019). Statistik. Kementrian Riset dan Pendidikan Tinggi. Diakses 11 Agustus 2019 dari https://kelembagaan.ristekdikti.go.id/index.php/statistik-5/

Kusnanda, V.B. (2016). Inilah kepadatan Penduduk di DKI Jakarta. Widowati, H. eds. Katadata.co.id. Diakses 8 Agustus 2019 dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/06/21/inilah-kepadatan-penduduk-di-dki-jakarta

Maharani, E. (2015). Psikolog: 44 persen remaja stres hadapi ujian. Republika Online, Rabu 04 Mar 2015 14:06 WIB diakses 12 Agustus 2019 dari https://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/15/03/04/nkoeff-psikolog-44-persen-remaja-stres-hadapi-ujian

Nevid, J.S., Rathus, S.A., & Greene, Beverly. 2005. Psikologi Abnormal. Terjemahan Tim Psikologi Universitas Indonesia. Edisi Kelima. Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Pusat Data Dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan. (2019). Jumlah data satuan pendidikan (sekolah) per provinsi : Prov. D.K.I. Jakarta. Diakses 11 Agustus 2019 dari http:// referensi.data.kemdikbud.go.id/index11.php?kode=010000&level=1

Putro, K.Z. (2017). Memahami ciri dan tugas perkembangan masa remaja. APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama:17(1)2017:25-32.

Walasary, S.A., Dundu, A.E., & Kaunang, T. (2015). Tingkat kecemasan pada siswa kelas XII SMA Negeri 5 Ambon dalam menghadapi ujian nasional. Jurnal e-Clinic (eCl), 3(1), Januari-April 2015: 510-515.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Tanda Kamu Mengalami Stres Berkepanjangan Tapi Tidak Sadar: Waspadai Bahayanya bagi Otak, Emosi, dan Iman

Ilustrasi stres yang tidak disadari Banyak dari kita berpikir stres hanya terjadi saat menghadapi masalah besar. Padahal, stres juga bisa datang diam-diam—menumpuk perlahan dalam rutinitas, tanpa kita sadari. Inilah yang disebut sebagai stres kronis tersembunyi . Ia bisa berdampak pada kesehatan fisik, mental, bahkan spiritual kita, bila tidak ditangani dengan tepat. Stres kronis terjadi ketika tubuh dan pikiran terus-menerus dalam kondisi "siaga". Dalam jangka panjang, hal ini bisa mengganggu fungsi otak, merusak sistem saraf, dan melemahkan daya tahan tubuh. Yang lebih serius, stres juga bisa menjauhkan kita dari rasa tenang dan keikhlasan dalam beribadah. Berikut adalah 5 tanda kamu mungkin sedang mengalami stres berkepanjangan tanpa disadari : 1. Merasa Lelah Meski Sudah Tidur Cukup Tidur 7–8 jam semalam, tapi tetap merasa lelah saat bangun? Ini bisa jadi pertanda tubuhmu tidak benar-benar istirahat. Stres membuat kualitas tidur menurun, meski durasinya cukup. Aki...

Kenali Ciri Gangguan Belajar Anak: Waspadai dan Tangani Sejak Usia Sekolah Dasar!

Saat buah hati berusia sekolah dasar, maka mereka seharusnya memiliki kemampuan belajar yang baik.   Kesiapan belajar ini dipersiapkan di usia taman kanak-kanak.   Namun demikian perkembangan otak dan mental anak untuk siap belajar adalah pada umumnya berada di usia 8 tahun ke atas.   Sobat PSAK, sebelum kita membahas kesulitan belajar atau disebut juga gangguan belajar, mari kita dalami apa itu kegiatan belajar. Dalam bahasa Inggris terminologi ini dikenal dengan learning disablity . Namun untuk diagnosa dari masalah ini pada siswa dikenakan istilah learning disorder atau gangguan belajar. Sekilas kegiatan belajar bersifat sederhana dan sepele.  Belajar adalah kegiatan perolehan informasi baru, perilaku, atau kemampuan setelah latihan, pengamatan, atau pengalaman lain.  Kegiatan ini kemudian dibuktikan dengan perubahan dalam perilaku, pengetahuan, atau fungsi otak.  Berdasarkan uraian di atas, maka prinsip dari anak belajar adalah adanya perubahan p...

Dari Otak Primitif ke Otak Kolaboratif: Mengapa Kita Terlahir untuk Bekerja Sama?

Kini saatnya untuk bekerjasama meski dalam persaiangan. Kolaborasi adalah keniscayaan untuk mencapai kemajuan Sobat PSAK, pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa manusia memiliki naluri untuk bekerja sama? Jawabannya terletak pada evolusi dan sains di balik otak kita. Evolusi dan Naluri Kolaborasi Manusia adalah makhluk sosial yang berevolusi untuk hidup dan berburu dalam kelompok. Kemampuan kita untuk bekerja sama dan berkomunikasi dengan satu sama lain sangat penting untuk kelangsungan hidup kita. Bukti arkeologi menunjukkan bahwa manusia telah bekerja sama dalam kelompok besar selama ratusan ribu tahun. Otak Kolaboratif: Rahasia di Balik Kerjasama Otak manusia memiliki beberapa fitur yang membuatnya sangat cocok untuk kolaborasi. Berikut beberapa contohnya: Mirror Neuron. Sel saraf khusus ini aktif saat kita melihat orang lain melakukan suatu tindakan, seperti tersenyum atau meniru gerakan. Mirror neuron membantu kita untuk memahami dan meniru orang lain, y...